Hang Nadim dan Cerita Perjalanan: Dari Study Visit ke Rumah Kedua
Pertama Kali ke Hang Nadim: Tahun 2015
Pertama kali ke bandara ini pada tahun 2015, saat mengikuti study visit bersama teman-teman dari program doktoral UIN STS Jambi. Kami punya misi akademik ke tiga negara: Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Rasanya waktu itu seperti mimpi—berangkat dari Jambi, menyeberang lewat Batam, lalu menjelajahi negara tetangga sambil membawa semangat belajar dan setumpuk pertanyaan riset.
Waktu itu, saya belum tahu banyak soal bandara ini, tapi begitu sampai, saya langsung terkesan: landasan pacunya super panjang, suasananya bersih, dan alurnya cukup rapi. Saya sempat berpikir, kenapa Batam punya bandara dengan landasan sepanjang itu? Ternyata memang dibangun dengan visi besar—awalnya untuk mengakomodasi pendaratan darurat pesawat dari Singapura, lalu berkembang menjadi pusat penerbangan yang strategis di Indonesia.
Kini: Lebih Sering ke Batam Karena Mertua
Waktu berjalan, dan cerita pun berganti. Sekarang, saya lebih sering ke Batam karena mertua berdomisili di sini. Jadi, bandara yang dulu jadi tempat berangkat dalam perjalanan ilmiah, sekarang jadi tempat pulang—tempat di mana saya datang membawa rindu, bukan lagi semata membawa jurnal atau proposal riset.
Setiap kali mendarat di Hang Nadim, ada perasaan hangat yang sulit dijelaskan. Suasananya tidak sepadat bandara-bandara besar, tapi justru itu yang membuat saya nyaman. Rasanya seperti kembali ke rumah kedua.
Sedikit Tentang Bandara Hang Nadim
Kalau boleh berbagi sedikit info, Bandara Internasional Hang Nadim ini punya landasan pacu sepanjang 4.025 meter, menjadikannya yang terpanjang di Indonesia dan salah satu yang terpanjang di Asia Tenggara. Namanya diambil dari Laksamana Hang Nadim, tokoh Melayu yang dikenal dalam sejarah dan legenda sebagai sosok pemberani dan cerdas.
Bandara ini sekarang menjadi hub penting untuk penerbangan domestik dan punya potensi besar dalam bidang perawatan pesawat (MRO). Pemerintah juga sedang terus membenahi dan memperluas fasilitasnya agar bisa menampung lebih banyak rute, termasuk internasional.
Tentang Batam dan Kehidupan di Dalamnya
Setiap kunjungan ke Batam selalu memberi saya kesan baru. Sebagai kota industri, Batam punya irama yang cepat, tapi sisi kekeluargaannya juga kuat. Kalau sedang ada waktu luang, saya suka jalan-jalan ke daerah pantai seperti Nongsa atau sekadar ngopi di salah satu kafe. Makanan laut di sini juga juara—murah, segar, dan enak!
Tapi yang paling saya syukuri tentu adalah momen kebersamaan. Menginap di rumah mertua, mendengar cerita masa kecil pasangan saya, atau melihat anak bermain dengan sepupu-sepupunya—semua itu membuat saya sadar, bahwa makna “pulang” tidak selalu harus ke kota tempat kita dilahirkan. Kadang, pulang itu adalah tempat di mana hati kita merasa tenang dan nyaman.
Penutup: Jejak yang Terus Berlanjut
Setiap orang punya tempat yang menyimpan cerita. Buat saya, Hang Nadim bukan hanya bandara. Ia adalah simpul perjalanan hidup—dulu sebagai gerbang pembuka untuk meraih ilmu, kini sebagai penghubung dengan keluarga.
Saya percaya, kita semua punya tempat seperti itu dalam hidup. Tempat yang mungkin tidak terlalu megah, tapi punya banyak makna. Tempat yang membuat kita tersenyum saat mengenangnya, dan rindu untuk kembali setiap kali pergi jauh.
Kalau kamu juga punya tempat semacam itu, yuk cerita-cerita di kolom komentar. Bisa jadi, cerita kita mirip, atau justru saling melengkapi 😊
Post a Comment for "Hang Nadim dan Cerita Perjalanan: Dari Study Visit ke Rumah Kedua"