Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjanjian Jual Beli Tanah Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1960

Perjanjian Jual Beli Tanah Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1960
 
 

 

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan manusia, tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dan merupakan fondasi utama dari semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Setiap orang tentunya membutuhkan tanah untuk mendirikan rumah, bercocok tanam, dan bahkan untuk mati pun manusia masih memerlukan sebidang tanah.

Semakin banyaknya kebutuhan manusia terhadap tanah, membuat luas tanah menjadi terbatas, karena selain untuk tempat tinggal, tanah juga juga diperlukan untuk perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan dan jalan untuk sarana perhubungan. Keadaan ini tentu saja membuat harga jual tanah menjadi semakin tinggi.

Tanah juga mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan meskipun mengalami keadaan bagaimana pun akan tetap dalam keadaan semula.[1] Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Soerojo bahwa penyebab mengapa tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting adalah karena tanah merupakan satu-satunya harta kekayaan yang menguntungkan. Sebidang tanah yang dibakar, di atasnya dijatuhkan bom, tanah tersebut tidak lenyap dan tetap seperti semula.

Dewasa ini permasalahan tanah semakin kompleks. Yang mana permasalahan tanah tidak hanya tejadi begitu saja, melainkan memiliki sebab-sebab yang mendasar. Disatu sisi perkembangan jumlah penduduk semakin bertambah, demikian juga desakan kebutuhan semakin meningkat sementara kesediaan akan tanah tersebut masih tetap/tidak bertambah.

Berdasarkan data empiris, sengketa mengenai tanah di Indonesia cukup tinggi, apabila dibandingkan dengan sengketa dalam bidang-bidang yang lain. Hal ini tidaklah mengherankan, karena data yang diperoleh dari Institusi Peradilan, selama tahun 2005 dari hampir 2100 perkara di pengadilan Negeri ataupun yang masuk di tingkat kasasi terdapat kurang lebih 1500 Perkara Perdata yang terkait dengan masalah tanah.

Salah satu hal yang urgen berkaitan dengan masalah tanah adalah kepemilikan hak atas tanah. Kepemilikan hak atas tanah dibuktikan dengan suatu tanda bukti hak atas tanah yang disebut dengan sertifikat yang dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan pendaftaran tanah.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang biasa disebut dengan UUPA telah dijadikan sebagai acuan dalam pendaftaran tanah yang diikuti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Permerintah ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria.

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 19 diuraikan bahwa:

  1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
  2. Pendaftaran tersebut dalam pasal (1) meliputi: 1) Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; 2) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c) Pemberian surat-surat tanda hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 
  3. Pendaftaran tanah dilakukan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut Peraturan Menteri Agraria. 
  4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam Ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Dalam kehidupan masyarakat, perolehan hak tanah sering dilakukan dengan pemindahan hak, yaitu melalui jual beli. Pemindahan hak/Peralihan hak, adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak, antara lain: Jual beli, Hibah, Tukar menukar, Pemisahan dan pembagian harta bersama dan pemasukan dalam perusahaan.[2]

Perkataan jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan, di mana seseorang melepaskan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara sukarela. Menurut Boedi Harsono, ”Dalam Hukum Adat perbuatan pemindahan hak (jual– beli, hibah, tukar menukar) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai”. Jual–beli dalam hukum tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai.[3]

Kemudian menurut Hukum (BW) Pasal 1457 disebutkan bahwa jual–beli tanah adalah suatu perjanjian yang mana penjual mengikatkan dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli yang mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual harga yang telah disepakatinya.[4]

Adapun ketentuan yang diatur dalam seluruh Buku II KUH Perdata telah dicabut dan tidak berlaku lagi. Pada tanggal 24 September 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok–pokok Agraria di muat dalam Lembaran Negara Nomor 104, tahun 1960 yang lebih dikenal dengan Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan adanya UUPA ini, maka hilanglah ”dualisme” dan terciptalah suatu kesatuan hukum (Unifikasi) dibidang Hukum Agraria di Negara kita.

Semenjak diundangkanya UUPA, maka pengertian jual– beli tanah bukan lagi suatu perjanjian seperti dalam Pasal 1457 jo 1458 KUH Perdata Indonesia, melainkan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama–lamanya yang bersifat tunai dan kemudian selanjutnya diatur dalam Peraturan Pelaksanaan dari UUPA yaitu PP No. 10 tahun 1961 yang telah diperbaruhi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah, yang menentukan bahwa jual–beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 ayat (1) PP No. 24/1997 yang berbunyi:

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual–beli, tukar–menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hokum pemindahan hak karena lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang–undangan yang berlaku”[5]

Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:

“PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.”[6]

Jadi jual beli Hak atas Tanah harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal demikian sebagai bukti bahwa telah terjadi jual beli sesuatu hak atas tanah dan selanjutnya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) membuat Akta Jual Belinya yang kemudian diikuti dengan pendaftarannya pada Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan lokasi tanah.

Namun tidak dapat dipungkiri, dalam kehidupan masyarakat sehari-hari masih banyak jual beli tanah yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa campur tangan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Perbuatan “Jual-Beli di bawah tangan” terkadang hanya dibuktikan dengan selembar kwitansi sebagai bukti telah terjadi jual beli dan tidak sedikit masyarakat yang hanya memiliki bukti kepemilikan atas tanah yang masih atas nama pemilik yang lama (penjual).

Dalam kehidupan sehari-hari terdapat begitu banyak masalah yang timbul dalam hal pertanahan. Jual-beli yang dilakukan di bawah tangan, dengan dasar kepercayaan pada saat hendak dilakukan balik nama, pihak penjual telah meninggal atau tidak diketahui bagi si pembeli yang akan mendaftarkan haknya pada kantor pertanahan setempat, sebagaimana yang terjadi dalam kasus di Kecamatan Sungai Gelam.

Berdasarkan observasi, penulis menemukan permasalahan tentang jual beli tanah yang dilakukan oleh masyarakat Sungai Gelam Jambi, di mana jual beli tanah yang mereka lakukan tanpa melibatkan notaris atau tanpa akta pejabat pembuat akta tanah. Jual beli tanah tersebut dinamakan juga dengan jual beli tanah di bawah tangan. Padahal jual beli tanah di bawah tangan ini tak jarang menimbulkan permasalahan di kemudian hari, terlebih ketika si penjual tanah sudah tak dapat dihubungi lagi atau sudah meninggal. Hal ini tentu saja merugikan pihak pembeli tanah.

Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang: Perjanjian Jual Beli Tanah Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1960 (Kasus Jual Beli Tanah Di Bawah Tangan Oleh Masyarakat Sungai Gelam).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dan untuk lebih terfokus dalam membahas tulisan ini, sehingga mampu menguraikan pembahasan dengan tepat, maka disusun beberapa  permasalahan.

Adapun pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah Jual Beli tanah menurut UUPA yang dilakukan oleh masyarakat Sungai Gelam? 
  2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat Sungai Gelam tentang jual beli tanah tanpa akta PPAT?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

- Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui bagaimana Jual Beli tanah menurut UUPA yang dilakukan oleh masyarakat Sungai Gelam? 
  2. Untuk mengetahui bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat sungai Gelam tentang jual beli tanah tanpa akta PPAT?
- Manfaat Penelitian
  1. Sebagai bahan informasi yang berguna bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. 
  2. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait. 
  3. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pustaka ilmiah dan diharapkan menjadi bahan bacaan bagi yang akan mengadakan penelitian.
D. Kerangka Konseptual

Untuk mengetahui dan lebih memahami maksud dari judul skripsi ini, serta untuk mempermudah dalam pembahasan permasalahan sekaligus untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran diperlukan pengertian beberapa konsepsi yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
  1. Perjanjian yaitu: persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. 
  2. Jual beli yaitu persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual. 
  3. Tanah yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali. 
  4. Bawah tangan yaitu tidak dilakukan secara resmi atau tidak disaksikan oleh pihak resmi.
 
Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif. Alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena dalam penelitian ini data yang dihasilkan berupa data deskriptif yang diperoleh dari data-data berupa tulisan, kata-kata dan dokumen yang berasal dari sumber atau informan yang diteliti dan dapat dipercaya.

2. Lokasi Penelitian Dan Subjek Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini yaitu Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muara Jambi. Alasan ditetapkan kecamatan sungai gelam ini menjadi setting penelitian karena: Pertama, kecamatan sungai gelam masih dihadapkan pada permasalahan jual beli tanah di bawah tangan. Kedua, permasalahan ini belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya.

b. Teknik Penentuan Sampel

Yang menjadi sampel penelitian ini adalah aparat pemerintah kecamatan Sungai Gelam dan masyarakat yang terlibat dalam jual beli tanah yaitu Bapak Wagimun, Ibu Nurhayati, dan Bapak Yamin.

Sedangkan teknik sampling yang digunakan dalam penentuan sampel adalah dengan menggunakan purposive sampling (pengambilan sampel tujuan). Menurut Iskandar, Purposive Sampling adalah pengambilan sampel berdasarkan penilaian subjektif peneliti berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkut paut dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya dengan pertimbangan tertentu.[7]

Dasar pertimbangan digunakan teknik purposive sampling adalah karena teknik penarikan sampel dengan cara ini dianggap lebih representative baik dari sudut pengumpulan data maupun dalam pengembangan data. Di samping itu teknik ini selalu digunakan dalam penelitian kualitatif.

Pengambilan sampel dari sumber data dengan pertimbangan tertentu. Sanafiah Faisal menyatakan bahwa, pertama, subjek telah lama menyatu dengan medan aktifitas penelitian; kedua, subjek masih melibatkan diri dalam lingkungan penelitian; ketiga, subjek mempunyai banyak waktu atau kesempatan untuk dimintai informasi.[8]

Informan dalam penelitian ini sebagian didatangi dan diwawancarai, dan sebagian lain diamati dan diobservasi secara langsung. Hal ini dilakukan untuk penyesuaian informasi atau data yang diperoleh melalui wawancara dengan data yang diperoleh melalui observasi.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data juga disebut sebagai tempat peneliti memperoleh berbagai informasi dari subjek penelitian yang dijadikan respondent atau informan. Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah camat, kepala desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat Sungai Gelam yang terlibat dalam hal jual beli tanah di bawah tangan.

Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang diperoleh yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data primer

Data primer adalah data yang diambil langsung kepada sumbernya, tanpa adanya perantara. Sumber yang dimaksud dapat berupa benda-benda, situs, atau manusia.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung dari sumbernya. Data sekunder dapat berupa dokumentasi tertulis yang terdapat di lapangan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa metode pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.[10]

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah: wawancara dan dokumentasi.

a. Wawancara

Untuk memperoleh data yang memadai maka dilakukan wawancara dengan para informan yang terlibat dalam interaksi sosial. Wawancara adalah cara yang digunakan oleh seseorang untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari responden.

Wawancara dilakukan secara formal dan informal (terjadwal dan tidak terjadwal), di tempat resmi dan tidak resmi, hubungan peneliti dengan responden terjadi dalam suasana yang biasa dan alami, tanpa adanya intervensi atau pengaruh dari pihak lain.

b. Dokumentasi

Dokumentasi berasal dari kata document yang berarti membuktikan kebenaran. Menurut komaruddin, dokumentasi adalah sesuatu yang memberikan bukti-bukti, dipergunakan sebagai alat pembuktian atau bahan untuk mendukung sesuatu keterangan, penjelasan atau argument.[11]

Metode dokumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk mencari data dari dokumen yang berhubungan dengan jual beli tanah.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengolah, memisahkan, mengelompokkan dan memadukan sejumlah data yang dikumpulkan dilapangan secara empiris menjadi sebuah kumpulan informasi ilmiah yang terstruktur dan sistematis yang selanjutnya siap dikemas menjadi laporan hasil penelitian.[12] Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini mempunyai dua corak analisis yakni melakukan analisis saat mempertajam keabsahan data dan melakukan analisis melalui interpretasi pada data secara keseluruhan.

Menurut Miles Huberman di dalam buku Afrizal, analisis data adalah mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Reduksi data adalah kegiatan pemilihan data penting dan tidak penting dari data yang telah terkumpul. Penyajian data yaitu penyajian informasi yang tersusun. Sedangkan kesimpulan data adalah tafsiran atau interpretasi terhadap data yang telah disajikan.[13]

Dalam penelitian kualitatif, analisis dilakukan secara berkelanjutan, berulang dan terus menerus dalam kegiatan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Ketiga analisis data ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Reduksi data

Dari pengamatan lapangan, dokumentasi dan wawancara ditemukan data yang sedemikian banyak dan kompleks serta campur aduk, maka langkah yang perlu diambil adalah mereduksi data.

“Menurut Mattew B. Miles & A. Michael Huberman Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Sebagaimana kita ketahui, reduksi data, berlangsung terus-menerus selama proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung”.[14]

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang berasal dari catatan-catatan yang diperoleh di lapangan. Data yang diperoleh dari lapangan begitu banyak dan berbentuk uraian atau laporan secara terperinci yang masih merupakan data mentah. Oleh karena itu, untuk memudahkan analisis data dari seluruh laporan tersebut perlu dilakukan reduksi, dirangkum dan dipilih hal-hal pokok, difokuskan kepada hal-hal penting sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data tentang jual beli di bawah tangan diperoleh melalui wawancara, dan dokumentasi, kemudian dianalisis dengan menajamkan, menggolongkan, mengarahkan dan membuang yang tidak perlu kemudian mengorganisasikan data tersebut sehingga bisa disajikan.

2. Penyajian Data

Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data. Kami membatasi suatu “penyajian” sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.[15]

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori atau yang paling sering digunakan adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan demikian akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan kegiatan akhir dari proses analisis data, yaitu dengan cara merumuskan kesimpulan penelitian, baik kesimpulan sementara maupun kesimpulan akhir. Kesimpulan sementara dapat dibuat terhadap data yang ditemukan pada saat penelitian berlangsung. Dan kesimpulan akhir dibuat setelah seluruh data dianalisis. Hasil penyajian data dapat diambil kesimpulan tentang temuan lapangan mengenai perjanjian jual beli tanah di bawah tangan dengan menyesuaikan teori-teori yang telah disusun sebelum penelitian dilakukan.

F. Sistematika Penulisan

Adapun penulisan skripsi ini didasarkan pada suatu sistematika penulisan yang sederhana, dengan tujuan untuk memperjelas permasalahan-permasalahan yang ada, yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang materi yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka dapat dilihat dalam sistematika sebagai berikut:


BAB I : Merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Merupakan tinjauan pustaka yang berisikan tinjauan umum tentang jual beli, pengertian umum tentang perjanjian, pejabat pembuat akta tanah (PPAT) sebagai pejabat umum yang berwenang dalam membuat akta jual beli.

BAB III :  Bab ini berisikan pembahasan tentang status jual beli tanah yang dilakukan tanpa akta pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan penyelesaian yang dapat dilakukan oleh pembeli, agar jual beli tanah yang dilakukan tanpa akta PPAT dapat mempunyai kekuatan hokum yang pasti.

BAB IV : Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari uraian dari bab pembahasan sebelumnya, serta saran-saran dari penulis.

 

PEMBAHASAN

A. Status Jual Beli Tanah Yang Dilakukan Tanpa Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Kehidupan manusia tidak terlepas dari hubungan dengan manusia lain, dengan tujuan yaitu melangsungkan kehidupan sehari-hari, untuk diri sendiri maupun keluarganya. Untuk terjadinya perjanjian jual beli tanah, pada pelaksanaanya di mana kedua belah pihak yaitu antara penjual dan pembeli, telah terjadinya penyesuaian kehendak dan pernyataan antara mereka tentang barang tersebut dan harga, meskipun barang tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayar lunas. Pihak penjual menjamin kepada pembeli, bahwa barang yang akan dijual tersebut tidak akan mengalami permasalahan, sedangkan pembeli menyanggupi untuk membayar sejumlah harga yang telah disepakati bersama.

Jual beli tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang sifatnya terdiri dari 3 unsur, yaitu:
  1. Tunai. Artinya penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. 
  2. Riil. Artinya dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belumlah terjadi jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/ 1956 dan No. 840/K/Sip/1971. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual.
  3. Terang. Artinya dipenuhi pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa, karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui tentang hukum dan kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut. Sejak berlakunya Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).

Akta jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (Pembeli) sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Akan tetapi, hal itu baru diketahui oleh para pihak dan ahli warisnya, karenanya juga baru mengikat para pihak karena administrasi PPAT sifatnya tertutup.

Kemudian penulis juga kemukakan bahwa Syarat Jual Beli Tanah ada dua yaitu :

1. Syarat Materil.

Syarat materil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut:

  • Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik atas tanah hanya warga Negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (Pasal 21 UUPA). 
  • Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan

2. Syarat Formal

Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) akan membuat akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 harus dibuat oleh PPAT.

            Adapun prosedur jual beli tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu :

  1. Jual beli tanah itu diawali kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musywarah di antara mereka sendiri. 
  2. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer.

Pemberian panjer tidak diartikan sebagai harus dilaksanakan jual beli itu. Panjer disini memiliki fungsi hanya sebagai tanda jadi kan dilaksanakannnya jual beli. Dengan adanya panjer, para pihak akan merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut.

Apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar. Bila yang ingkar pembeli panjer menjadi milik penerima panjer. Sebaliknya, bila keingkaran tersebut ada di pihak penerima panjer, panjer harus dikembalikan kepada pemberi panjer, jika para pihak tidak menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya dengan calon pembeli dan calon penjual menghadap Kepala Desa (Adat) untuk menyatakan maksud mereka itu.

Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermaterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh. Akta tersebut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat). Dengan telah ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Pembeli kini menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan sebagai tanda buktinya adalah surat jual beli tersebut.

B. Penyelesaian Yang Dapat Dilakukan Oleh Pembeli Agar Jual Beli Tanah Yang Dilakukan Tanpa Akta PPAT Dapat Mempunyai Kekuatan Hukum Yang Pasti

Untuk mempermudah masyarakat agar jual beli tanah tidak dilakukan dengan kepercayaan maupun melalui kwitansi, adapun cara pembuatan alat bukti jual beli tanah yang dilakukan dibawah tangan, yaitu :

  1. Pihak yang bersangkutan baik itu pihak penjual maupun pembeli datang ke kantor Desa atau Kelurahan untuk membuat kesepakatan mengukur tanah yang akan dijual dan Kepala desa atau Lurah dan perangkat-perangkat desa disini juga sebagai saksi. 
  2. Setelah tanah diukur, kemudian data ditulis dalam buku khusus desa. 
  3. Setelah selesai pembeli wajib membayar uang wajib dan uang sukarela. 
  4. Setelah melakukan pembayaran para saksi yang hadir dalam jual beli tanah tersebut menandatangani surat pernyataan jual beli tanah tersebut.

Sebelum akta jual beli dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka diisyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu :

  1. Jika tanahnya sudah bersertifikat : sertifikat tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya. 
  2. Jika tanahnya belum bersertifikat : surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh Kepala Desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.

Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, perjanjian yang menyangkut peralihan hak atas tanah termasuk jual beli tanah, seharusnya dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Maka dari itu, dalam melaksanakan transaksi jual beli tanah pihak penjual dan pembeli datang menghadap bersama-sama kekantor PPAT, untuk membuat Akta Jual Beli Tanah. PPAT adalah Pejabat Umum yang dianggap oleh Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang mempunyai kewenangan untuk membuat peralihan hak atas tanah, termasuk jual beli tanah.

Saat menghadap ke PPAT untuk membuat akta perjanjian Jual Beli Tanah, maka ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan oleh pihak-pihak yang terkait, yaitu :

1. Pihak Penjual, diharapkan membawa:
  • Sertifikat asli hak atas tanah yang akan dijual. 
  • Kartu Tanda Penduduk 
  • Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan 
  • Kartu Keluarga.
2. Pihak Pembeli, diharapkan membawa :
  • Kartu Keluarga 
  • Kartu Tanda Penduduk 
  • Uang pembayaran yang dapat dilakukan secara tunai di hadapan PPAT
Persiapannya adalah :
  1. Sebelum membuat akta jual beli, PPAT harus melakukan pemeriksaan mengenai keaslian sertifikat ke Kantor Pertanahan terkait. 
  2. Penjual harus membayar Pajak Penghasilan 
  3. Calon pembeli dapat membuat pernyataan, bahwa dengan membeli tanah tersebut ia tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum. 
  4. Surat pernyataan dari penjual, bahwa tanah yang dimiliki tidak dalam sengketa. 
  5. Pejabat Pembuat Akta Tanah akan menolak pembuatan akta jual beli apabila tanah yang akan dijual sedang dalam sengketa.
Di mana syarat pembuatan akta adalah:
  1. Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis 
  2. Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi 
  3. PPAT membacakan akta dan menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta tersebut 
  4. Apabila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli, maka akta ditandatangani oleh penjual dan calon pembeli, saksi-saksi, serta PPAT, 
  5. Akta dibuat dua lembar asli, satu lembar disimpan di kantor PPAT dan satu lembar lainnya disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran tanah atau balik nama. 
  6. Kepada penjual dan pembeli, masing-masing diberikan salinannya.

Proses Balik Nama di Kantor Pertanahan:

1) Menggunakan jasa PPAT

Setelah membuat akta jual beli, PPAT kemudian menyerahkan berkas akta jual beli ke Kantor Pertanahan untuk keperluan balik nama sertifikat, selambat-lambatnya dalam tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta tersebut. Berkas yang diserahkan meliputi:

  • Surat Permohonan balik nama yang ditandatangani oleh pembeli. 
  • Akta Jual Beli PPAT 
  • Sertifikat hak atas tanah 
  • Kartu Tanda Penduduk pembeli dan penjual 
  • Bukti Pelunasan Pembayaran PPh.

2)  Pembeli Mengajukan Sendiri

Dalam hal ini, pembeli mengajukan sendiri proses balik nama, maka berkas jual beli yang ada pada PPAT diminta, kemudian untuk selanjutnya pembeli mengajukan permohonan balik nama ke Kantor Pertanahan, dengan melampirkan :
  • Surat pengantar dari PPAT 
  • Sertifikat asli 
  • Akta Jual Beli dari PPAT 
  • Identitas diri penjual, pembeli atau kuasanya dengan melampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk 
  • Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan kepada orang lain 
  • Bukti pelunasan SSB (surat setoran) BPHTB. 
  • Bukti pelunasan SSP (Surat Setoran Pajak). 
  • SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang) PBB tahun berjalan atau tahun terakhir.
Bila belum memilik SPPT, maka perlu keterangan dari lurah atau kepala desa terkait. Setelah permohonan dan kelengkapan berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, baik oleh pembeli sendiri atau PPAT atas kuasa dari pembeli, maka kantor Pertanahan akan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada pemohon. Selanjutnya oleh Kantor Pertanahan akan dilakukan pencoretan atas nama pemegang hak lama, kemudian diubah dengan nama pemegang hak baru.

Nama pemegang hak lama (Penjual) di dalam buku tanah dan sertifikat dicoret dengan tinta hitam, serta diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk. Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan kolom yang tersedia pada buku tanah dan sertifikat, dengan dibubuhi tanggal pencatatan serta ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk. Dalam waktu empat belas hari pembeli dapat mengambil sertifikat yang sudah atas nama pembeli, di Kantor Pertanahan terkait.

 
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban-jawaban dari permasalahan sebagai berikut:
  1. Bahwa status hukum Jual Beli Tanah yang dilakukan dibawah tangan (tanpa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah) tetaplah sah, karena sudah terpenuhinya syarat sahnya jual beli menurut UUPA yaitu syarat materiil dan formil yang bersifat tunai, terang dan riil. Selain itu juga jual beli tersebut sudah memenuhi syarat jual beli menurut pasal 1320 syarat sahnya perjanjian. Tetapi untuk memperoleh pemindahan hak atas tanah dan balik nama harus memiliki akta yang dibuat oleh PPAT karena pemindahan hak atas tanah melalui jual beli tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. 
  2. Upaya Penyelesaian yang dapat dilakukan oleh pihak pembeli agar jual beli tanah yang dilakukan tanpa akta PPAT dapat mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan menghadap ke Kepala desa, pihak pembeli dan pihak penjual menghadap langsung Kepala desa, karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui hukum untuk menyatakan maksud mereka itu. Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermaterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli. Akta tersebut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa dan disaksikan oleh dua orang saksi yang cakap menurut hukum. Dengan ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian penulis dapat menyampaikan saran-saran sebagai berikut:


  1. Pelaksanaan jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain, yaitu dari pihak penjual kepada pihak pembeli tanah. Dimana dalam proses pelaksanannya tidak mungkin dilaksanakan balik nama tanpa melibatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka berdasarkan ketentuan perbuatan hukum jual beli tanah yang dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta tanah dibuktikan dengan Akta Jual Beli tanah yang dibuat oleh PPAT. 
  2. Oleh karena hal tersebut ada beberapa hal yang menurut saya perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari semua pihak sebagai berikut:
  • Camat selaku Pejabat yang paling dekat dengan masyarakat, hendaknya sering mengadakan penyuluhan hokum mengenai peraturan yang berlaku bagi kepentingan masyarakat banyak. 
  • Masyarakat sebagai pihak yang akan melakukan pengalihan atau pihak yang akan menerima hak hendaknya mencari informasi terlebih dahulu pada Kantor Pertanahan setempat.
 
 Referensi
 

[1] Bushar Muhammad, pokok-pokok hukum adat, (Jakarta: pradnya paramita: 2000), hal. 103

[2] John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan (Jakarta: Sinar Grafika, 1987), hal.37.

[3] Harun Al–Rashid, Sekilas Tentang Jual–Beli Tanah (Berikut Peraturan–Peraturanya), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal 51.

[4] Ibid, hal. 52

[5] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- Peraturan Hukum Tanah, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 538–539.

[6] Ibid, hal. 677

[7] Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Social, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hal. 74

[8] Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, (Malang: YA3 Malang, 1990), hal. 45

[9]Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta. 2006), hal 12

[10]Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 62

[11] Komaruddin, Kamus Istilah Skripsi Dan Tesis, (Bandung: Angkasa, 1982), hal. 33

[12]Muktar, Op, Cit., hal. 120

[13] Afrizal, metode penelitian kualitatif, hal. 174

[14]Matthew B. Miles  & A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press. 2009, hal 16

[15]Ibid., hal. 17

[16] K.Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hal. 31.

[17] Sudaryo Soimin, Status Tanah Dan Pembebasan Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 94-95

[18] Boedi Harsono, Hukum. Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Hukum Tanah Nasional Jilid 1, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 333.

[19] M. Harahap Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 26.

[20] Boedi Harsono, Op. Cit, hal. 333.

[21] Effendi Perangin, Praktek Jual Beli Tanah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hal. 4

[22] R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 1994), hal. 49.

[23] Purwahid patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari Undang-Undang), (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal 46.

[24] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 79

[25] A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya,(Yogyakarta : Liberty, 1985), hal. 20.

 [26] Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang : Badan

Penerbit UNDIP, 1986), hal. 3.

[27] Budi Harsono, Op. Cit, hal.469

[28] John Salehindo, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta, Sinar Grafika: 1987) hal.53

 

Post a Comment for "Perjanjian Jual Beli Tanah Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1960"