JODOH TERINDAH
Jodoh Terindah
By: Bunda Rissya
Nak, ini foto Ayah dan Bundamu saat menjadi raja dan ratu sehari. Bunda bahagia akhirnya disandingkan
dengan laki-laki baik, penyayang, perhatian, dan penyabar.
Ayah dan Bunda pertama kali dikenalkan oleh senior Bunda yang kebetulan satu kampus dengan Ayah. 2017 lalu. Bunda ingat awal-awal komunikasi itu terjalin. Namun saat itu, bunda masih membutuhkan waktu untuk meyakinkan hati bunda. Ayah asli Riau dan berdomisili di Riau.
"Boleh saya datang
ke Jambi?" Beberapa kali ayah menyatakan keinginannya untuk datang menemui
bunda, namun bunda punya sejuta alasan untuk menolaknya.
"Mohon maaf, saya
benar-benar lagi sibuk saat ini." begitu selalu bunda beralasan. Namun
ayah tak pernah marah, meski berulang kali bunda tolak. Itu kelebihan ayahmu, selalu berpikiran positif.
Ayah menunggu jawaban
selama 2 tahun, kesabaran ayah akhirnya membuahkan hasil. Bunda pun tak
menyangka akhirnya pilihan itu jatuh pada sosok ayah.
"Terima kasih
sudah sangat sabar menunggu jawabanku. Silahkan datang ke Jambi dalam waktu
dekat." Tulis bunda melalui pesan WA. Dan dua hari setelahnya ayah
benar-benar datang. Dirimu tahu, nak... Bunda jatuh hati pada pandangan
pertama.
Setelah pertemuan itu, bunda
menemukan satu jawaban "iya, inilah orangnya!". Sejak pertemuan itu
pula ayah mulai mengajukan pertanyaan serius. Salah satunya adalah "berapa
hantaran yang perlu dipersiapkan?" Hulala... Bunda mah gak perlu itu, mau
berapa pun tak jadi masalah, yang penting bisa halal secepatnya.
Pertemuan kedua, saat
bunda diwisuda. Ayah datang jauh-jauh dari Riau hanya untuk menghadiri wisuda
S3 bunda. Pada acara wisuda itu pula, Ayah dan Atuk bertemu untuk pertama
kalinya. Atuk mewawancarai ayah keesokan harinya. Lama. Bunda cukup khawatir
saat itu, bunda takut Atuk menolak. Bunda paling tahu siapa Atuk. Atuk
menyeleksi ketat setiap laki-laki yang datang. Atuk bahkan pernah menolak hanya
karena fisik.
Saat Ayah pulang
kembali ke Tembilahan-Riau, Atuk mengajak Bunda bicara serius. "Kenapa tidak
cari yang dekat saja? Yang ada di lingkunganmu sendiri?"
Bunda bersikeras tak
ingin yang lain lagi. Semakin Atuk memberi pandangan, semakin Bunda yakin bahwa
Bunda tak akan salah pilih.
"Gimana
kelanjutannya, Yank?" Ayah mulai mendesak jawaban untuk memastikan
kelanjutan hubungan. Bunda hanya bisa menangis waktu itu. Bunda gak mungkin
melangkah tanpa restu Atuk. Walau bagaimana pun, Bunda akan tetap menunggu
lampu hijau dari Atuk.
"Sabar dulu ya, Yank...
mau rapat keluarga dulu, nanti dikabari, doakan semoga lancar." Jawab
Bunda menyabarkan hati Ayah.
Rapat keluarga akhirnya
digelar di rumah Neksu. Bunda sangat berharap mendapat dukungan dari keluarga
yang lain, dari Puyang, dan dari adik-adik atuk. Tapi Bunda salah, rapat itu
malah membuat Bunda semakin terpuruk. Bunda tak direstui. Alasan mereka karena
jarak yang begitu jauh. Atuk terlalu keras untuk Bunda taklukkan.
Semenjak rapat keluarga
malam itu, Bunda membungkam. Bunda mengurung diri di kamar selama berhari-hari.
Neknu mulai mengkhawatirkan bunda. Setiap hari Neknu bolak balik ke kamar
untuk memastikan bahwa Bunda baik-baik saja.
Bunda benar-benar
sedih. Sungguh, Bunda tak ingin lagi mengarungi dunia ini seorang diri. Bunda
sudah lelah… bunda bosan dengan kesendirian. Usia bunda juga kian bertambah.
Tak ada lagi yang Bunda harapkan selain menikah dan membina rumah tangga yang
sakinah.
Beberapa minggu Bunda hanya
ditemani airmata dan WA dari ayah yang terus mendesak jawaban. Bunda serasa
ingin pergi jauuuh, Bunda benar2 mumet.
"Ini sudah lebih
seminggu, Yank. Gimana keputusannya? Kalau pun tidak, juga gak apa-apa, yang
penting adalah kepastiannya."
"Banyak berdoa
aja, Yank... Semoga ada kepastian dalam waktu dekat." Jawab Bunda setengah
pasrah. Bunda mulai stress, situasi tampak semakin sulit. Meski komunikasi
antara Ayah dan Bunda terus terjalin. Namun Bunda tak bisa memberikan jawaban
yang Ayah minta. Bunda hanya bisa menyabarkan dan terus meyakinkan ayah bahwa Allah
akan memberikan jalan terbaik.
Seminggu, dua minggu,
tak ada perkembangan sama sekali. Bunda berusaha menenangkan diri dengan cara
bunda sendiri. Jogja menjadi pelarian Bunda waktu itu. Kebetulan juga
bertepatan dengan pelatihan penulisan buku ajar yang diadakan oleh P2B-PT,
sehingga Bunda dengan mudah mengantongi izin dari Atuk.
Empat hari di Jogja,
membuat Bunda jauh lebih tenang. Bunda shopping
sepuasnya di Malioboro. Menelusuri hampir setiap sudut kota Jogja. Mengunjungi
café-café dan menikmati setiap sesapan kopi. Sendiri tentu saja. Bunda sengaja
menyewa kendaraan agar bunda leluasa meski bunda sama sekali tak hapal
rute. Bunda cukup nekat.
"Kapan pulang, No?"
Tanya Atuk via telpon. Sepertinya Atuk mulai mengkhawatirkan Bunda. Ayah juga
melakukan hal yang sama, meski tak menyatakan kerinduannya tapi Bunda tahu Ayah
sedang kangen.
“Insyaallah, besok!”
Jawab Bunda.
Hari terakhir di Jogja,
bunda berburu bakpia pathok dengan berbagai varian rasa. Kacang hijau, ubi
ungu, keju, tiramisu, green tea, dan lainnya. Bunda paling suka bakpia basah. Bakpia
merupakan oleh-oleh khas jogja yang sayang untuk dilewatkan.
Dari Jogja, bunda take off jam 8 malam. Harusnya jam 2
siang, namun pihak bandara tiba-tiba merubah jadwal. Mau gak mau bunda harus
menunggu hingga jam 8 di kursi tunggu Bandara Internasional Adisutjipto Jogjakarta.
Sambil menunggu tentu saja bunda sibuk ber-WA ria dengan ayah. Berbagai hal
diperbincangkan. Meski saat itu sama sekali belum ada kejelasan, namun di hati
bunda ada keyakinan bahwa ayahlah jodoh yang dikirim Allah untuk Bunda.
Penerbangan mulai lepas
landas tepat jam 20.30. Bunda memilih seat nomor 17 F, berdekatan dengan
jendela. Dari jogja bunda harus transit
terlebih dahulu di soeta untuk melanjutkan penerbangan ke jambi. Pesawat landing tepat jam 21. 30 di bandara
Soekarno Hatta Jakarta. Bandara tampak sepi karena merupakan penerbangan
terakhir malam itu. Tak ada pilihan lain, bunda harus tetap menunggu hingga
penerbangan esok hari.
Menunggu waktu pagi
kali ini terasa begitu lama. Bunda duduk sendiri sambil menikmati makanan dan
minuman yang bunda pesan di KFC, kebetulan buka 24 jam. Lelah dan ngantuk,
namun sama sekali Bunda gak bisa tidur. Saat itu ayah mungkin sudah bermain
dengan mimpinya. Bunda WA, tak ada balasan
lagi.
Ini perjalanan bunda
yang paling melelahkan, mungkin karena harus transit semalaman dan sendiri. Tak ada teman mengobrol. Jika
saat itu ada bu Anis yang menemani, mungkin bunda tak akan selelah ini. Bu
anis, sahabat bunda di bangku s3, biasanya untuk urusan tugas kuliah, bunda
selalu melakukan perjalanan berdua. Kali ini, tak ada sosoknya nan lucu di
samping bunda.
***
Sebelum flight jam 8 pagi, bunda sudah siap-siap
di kursi tunggu. Bunda juga sudah berganti pakaian dan sarapan nasi goreng
dengan harga selangit namun tak enak sama sekali.
“Hati-hati, yank…” WA
ayah masuk sebelum bunda naik ke pesawat lion air menuju Jambi. Atuk juga nelpon
untuk memastikan jam berapa bunda akan landing di bandara sulthan thaha Jambi.
Atuk dan Neknu sudah bersiap untuk menjemput bunda. Agaknya atuk dan neknu
mulai melunak setelah ditinggal beberapa hari ke jogja. Mungkinkah atuk dan
neknu sudah memberikan restu? Entahlah… hanya allah yang tahu.
Dari bandara, atuk dan
neknu mampir sebentar di pasar angso duo, baru kemudian mengarahkan mobilnya
pulang ke rumah. Bunda pura-pura melupakan tentang restu yang tak kunjung atuk
berikan. Biarkan saja. Bunda yakin, jika berjodoh, Allah akan melancarkan
jalannya.
Esoknya, atuk dan neknu
kembali pulang ke muara bungo. Bunda memilih untuk tetap di jambi dengan alasan
ada beberapa proyek tulisan yang harus bunda kerjakan. Sepeninggal atuk dan
neknu, bunda kembali meratap. Meratapi nasib yang tak berpihak. Kak nisa
menjadi saksi airmata bunda yang mengucur tanpa komando.
“Sabar aja, ka…
insyaallah nanti ada jalannya.” Kak nisa, sahabat sekaligus tetangga bunda di
perumahan bukit hijau seringkali menyabarkan bunda setiap kali bunda curhat.
Ya, bunda benar-benar
galau!!!
Namun siapa sangka,
tiga hari setelahnya, bunda ditelpon adik perempuan atuk satu-satunya. Bunda
memanggilnya maksu. Bunda kembali diwawancarai. Keseriusan bunda kembali
dipertanyakan. Dengan yakin bunda jawab, “Iya, serius.”
Telepon dari Neksu membawa
sedikit angin segar untuk bunda. Bunda diminta untuk pulang ke bungo dalam
waktu dekat. Bunda manut saja. Sepertinya ini ada hubungannya dengan pelarian
bunda beberapa hari yang lalu ke jogja? Entahlah. Bunda hanya berharap semoga
ini jalannya.
***
“Apa sudah dipikirkan
baik-baik, Tino?” sebuah suara menghenyakkan lamunan bunda malam itu, pada
acara kumpul keluarga. Itu suara adik laki-laki Atuk. Bunda mengangguk dan
menjawab cepat bahwa bunda sudah berpikir dengan baik, bahkan sudah istikharah
berkali-kali.
Kesimpulan dari
pertemuan itu yang terpenting bagi Bunda adalah "bunda direstui".
Mereka dengan ikhlas mengizinkan bunda berlabuh di Provinsi Riau dengan
laki-laki pilihan bunda. Berkali-kali bunda mengucapkan syukur.
***
Tak menunggu waktu
lama, keluarga dari pihak ayah langsung datang ke rumah 2 minggu setelahnya.
Acara berlanjut dengan penyerahan hantaran, tukar tanda, dan penentuan tanggal
pernikahan. Ini benar-benar serasa mimpi. Bunda sangat bahagia. Ayah pun
begitu.
7 April 2019, akhirnya Ayah
dan Atuk saling berjabat tangan, mengucapkan ijab dan qobul. Bunda tak kuasa
menahan airmata. Sedih, bahagia, haru, semua menjadi satu. Malam itu, status
bunda berubah menjadi seorang "istri".
"Istriku..."
ucap ayah melalui pesan WA. Sungguh bunda deg-degan dipanggil istri untuk
pertama kalinya.
"Ya, suamiku. Thanks
atas semua." Cepat-cepat bunda balas. Ayah dan bunda berbalas WA hingga
tengah malam. Setelah ijab qobul malam itu, Ayah kembali lagi ke rumah Neksu
yang juga merupakan keluarga angkat Ayah di Bungo.
"Bobok lagi sayang,
besok mau didandanin pagi-pagi kan?" Ucap Ayah sebelum mengakhiri chat.
Ayah dan bunda pun akhirnya lelap dalam bahagia yang teramat sangat.
Esoknya, jam 7 pagi. Bunda
siap untuk didandanin. Bunda memilih baju adat berwarna biru sebagai kostum
pertama, baju kedua berwarna merah, dan terakhir gaun navy.
Ayah dan Bunda duduk di
pelaminan ditemani Atuk, Neknu, dan Nenek dari pihak Ayah. Tamu-tamu terus
berdatangan mengucapkan selamat. Atuk dan Neknu pun tampak sangat bahagia.
Beberapa kali terdengar tawa Atuk saat sahabat dan kenalannya menuju ke pentas
dan bersalaman.
Pada setiap sesi foto
pun, Atuk tampak sumringah. Akhirnya Atuk dan Neknu berhasil menghantarkan anak
perempuan satu-satunya ke pelaminan, bersanding dengan laki-laki pilihan yang
insyaallah sholeh dan bertanggung jawab.
Acara diakhiri setelah
sesi suap-suapan. Ayah dan Bunda saling menyuapi satu sama lain. Sayangnya Atuk
dan Neknu tak ingin terlibat dengan alasan belum shalat ashar.
***
Empat hari setelah
menikah, ayah memboyong Bunda ke negerinya. Itu perjalanan pertama Bunda bersama
sang suami tercinta. Di perjalanan, Ayah dan Bunda terus berpegangan tangan.
Bunda yang selama ini selalu melakukan perjalanan sendiri, akhirnya ada yang
menemani. Bunda sungguh bahagia. Tak dapat terlukiskan lagi.
"Selamat datang di
kota Tembilahan, istriku tercinta." Ucap ayah setelah mobil memasuki
negeri seribu parit itu. Bunda tersenyum saja. Dulu, sebelum kenal dengan ayah,
Bunda seringkali menyatakan keinginan untuk jalan-jalan ke Tembilahan.
Kebetulan salah satu dosen di kampus Unisi Tembilahan adalah sahabat Bunda.
Siapa sangka ternyata jodoh bunda ada di sana, kota yang selalu membuat bunda
penasaran selama ini.
Di tembilahan, Bunda dikenalkan
dengan teman-teman ayah, mereka dari kampus AKBID, di mana selama ini ayah
bekerja. Mereka semua ramah dan friendly.
Beberapa diantara mereka pun telah menyiapkan kado untuk Ayah dan Bunda.
"Yank, besok kita
pulang ke Teluk Pinang ya..." Ucap Ayah sepulangnya dari kampus sore itu.
Teluk Pinang adalah desa kelahiran Ayah. Nenek dan Mak Utih sudah menunggu di
sana. Bunda manut saja.
Di Teluk Pinang,
ternyata nenek dan keluarga yang lain juga menyiapkan acara syukuran. Bunda
kembali didandani dan memakai baju adat kuning keemasan khas Riau. Acara
diawali dengan marhaban, cacah inai, lalu makan-makan.
Esoknya, Ayah dan Bunda
memakai baju adat berwarna merah. Duduk di pelaminan dan menyalami tamu-tamu yang
datang. Ayah dan Bunda jadi pengantin lagi.
Setelah dua minggu di Negeri
Ayah, Bunda terpaksa harus kembali lagi ke Jambi dan melanjutkan kembali
aktifitas-aktifitas bunda di kampus. Mengajar, membimbing mahasiswa, menguji,
dan lain sebagainya. Ayah dan Bunda harus menjalani LDM untuk sementara waktu,
Bunda belum bisa meninggalkan pekerjaan Bunda, dan Ayah pun begitu. Ayah dan
Bunda sepakat untuk bertemu setiap dua minggu. Ayah mengantarkan Bunda hingga
ke kota Jambi. Meski pada awalnya bunda menolak, tapi ayah tetap keukeuh.
***
Tiga bulan setelah
menikah, Bunda kedatangan tamu paling istimewa. Anak cantik bunda akhirnya
hadir di rahim Bunda. Kebahagian Ayah dan Bunda semakin lengkap dengan
kehadiranmu, Nak. Meski Bunda harus menahan mual sepanjang hari.
Usia 14 minggu di dalam
kandungan, Bunda mabuk parah. Bunda sama sekali gak bisa makan maupun minum, Bunda
benar-benar lemas. Kata Neknu, ngidam memang begitu, tapi Bunda gak sabaran.
Akhirnya Bunda dirawat di klinik selama 2 hari 2 malam. Alhamdulillah setelah
menghabiskan 3 infus, bunda merasa sedikit membaik meski belum bisa makan
seperti biasa.
Dari bulan ke bulan, Bunda
terus mengamati pertumbuhan anak cantik Bunda. Alhamdulillah anak cantik Bunda tumbuh
dengan baik, kita bertemu hampir tiap bulan melalui USG. Ayah dan Bunda juga
sudah menyiapkan nama paling cantik untukmu. Doa yang selalu bunda kumandangkan
adalah "semoga dedek jadi hafiz qur'an, indah akhlaknya dan juga
wajahnya". Selain itu, bunda juga rutin membaca al Qur'an 1 juz setiap
harinya, agar anak Bunda terbiasa mendengarkan ayat-ayat Allah.
Selain USG saban bulan,
Bunda juga terus mengikuti perkembanganmu melalui aplikasi The Asian Parent. Bunda punya kepuasan tersendiri setiap kali
membuka aplikasi itu. Selain perkembangan setiap harinya, Bunda juga bisa
mengetahui kapan HPL dedek. Ya, dedek diperkirakan lahir tanggal 13 April.
Akhir Maret 2020, Bunda
mulai harap-harap cemas, mulai deg-degan, karena berdasarkan aplikasi, bayi
bisa saja lahir sebelum HPL. Namun hingga 18 April pun, Dedek tak kunjung
lahir, padahal sudah melewati HPL beberapa hari.
Bunda makin khawatir, Ayah
juga khawatir. Akhirnya Ayah dan Bunda memilih untuk datang ke rumah sakit.
Niat awalnya adalah untuk check up.
Tapi setelah di USG, dokter Husnul menyarankan untuk segera diinduksi.
"Air ketubannya mulai keruh, Bu. Saran saya, kalau mau melahirkan normal, Ibu
harus diinduksi."
Bunda yang masih buta
pengalaman, mulai searching tentang
induksi. Ayah pun sibuk menghubungi rekan-rekannya di kampus kebidanan, mencari
tahu bagaimana sebenarnya induksi. Dari beberapa jawaban, ada yang pro dan ada pula
yang kontra.
"Gak apa-apa, pak,
saya juga dulu diinduksi. Memang sakit luar biasa, tapi setelah bayi lahir,
sakitnya langsung hilang kok!" bu Indah, salah satu dosen AKBID berkomentar
saat ayah menelpon.
"Gak apa-apa.
Memang kalau mau melahirkan normal, jalan satu-satunya adalah induksi!"
Teman Ayah yang lain juga ikut berkomentar di
WA.
Dari awal, Bunda memang
berniat untuk melahirkan secara normal. Neknu pun selalu memberikan semangat,
bahwa bagaimana pun caranya jangan sampai dioperasi. Neknu paling takut anaknya
dioperasi.
Setelah menyakinkan
diri, sore itu Ayah dan Bunda kembali ke rumah sakit ditemani Atuk dan Neknu. Ayah
dan Bunda diarahkan ke ruangan UGD setelah sebelumnya mendaftar di bagian
administrasi. Perawat melakukan cek tensi dan juga cek darah. "Ini obatnya
diminum ya, bu... Nanti kalau belum ada reaksi, kita tambah lagi obatnya.
Insyaallah dalam waktu 3 jam, biasanya sudah bereaksi." Dua orang perawat
memberikan penjelasan.
"Setelah ini kita
langsung ke kamar rawat inap, ya bu... nanti ada yang mengantarkan ke
atas." Perawat kembali bersuara.
Sebelum diantar ke
kamar inap, Bunda meminta izin perawat untuk menemui Atuk dan Neknu yang
menunggu di luar. "Jangan lama-lama
ya, bu." Pinta mereka. Bunda bergegas bangun dan melangkah keluar ditemani
Ayah untuk meminta doa dan restu Atuk dan Neknu. Airmata Bunda banjir seketika
saat menyalami mereka. Neknu pun ikut menangis. Hanya Atuk yang terlihat tegar.
Bunda juga tak lupa meminta
doa Nenek yang saat itu sedang berada di Batam, karena jarak yang jauh Nenek tak
bisa datang menemani, terlebih saat covid begini. "Doakan ya, Mak..."
Ucap Bunda masygul.
***
Satu jam, dua jam, tiga
jam, Bunda belum merasakan apa-apa. Bunda bahkan masih sempat ber-selfie ria dan mengirimnya ke salah
satu sahabat bunda. "Masih sempat jugo selfie, yoo..." Komentarnya saat
bunda Kirim via WA. Ya, karena memang saat itu Bunda belum sakit.
Tepat jam sepuluh
malam, perut Bunda mulai terasa mulas. Awalnya tak begitu sakit, namun lama-lama
semakin sakittt. Perawat berkali-kali masuk kamar dan memeriksa tensi bunda.
"Mulai sakit ya, Bu?"
Tanyanya saat bunda terus mengaduh sakit.
"Ini belum
seberapa, bu. Nanti akan lebih sakit lagi. Apalagi kalau sudah pembukaan."
Penjelasan tak berguna dari perawat tidak Bunda hiraukan. Bunda terus mengaduh
sambil memegangi perut. "Istigfar, Bunda... Istigfar!!" Ayah terus
menuntun bunda beristigfar.
Sakitnya semakin luar
biasa. Bunda bangun dari tempat tidur dan berjalan ke setiap sudut kamar sambil
mengaduh sakit. "Sakiiitt, Yaaaah... Sakitttt!!!" Kali ini Bunda mengaduh
setengah berteriak sambil memegang lengan ayah kuat. Ayah masih terus menuntun Bunda
membaca istigfar, shalawat, dan lain sebagainya.
Bunda seperti orang kesurupan
menahan rasa sakit. Menceracau tak jelas. Menggapai apa yang bisa bunda gapai.
Menarik baju ayah kuat. Jongkok berkali-kali. Mengajak Ayah keluar kamar, dan
berjalan ke segala sisi ruangan rumah sakit.
"Yakin mau normal,
Bu? Ini aja belum seberapa lho, bu... nanti makin sakit lagi dari ini."
Perawat mulai menggoyahkan pertahanan Bunda. "Kalau mau operasi, daftarnya
harus jam tiga ini ya pak, Dokternya datang jam 5 subuh." Ucap sang
perawat pada ayah.
"Gimana, Bun?
Bunda masih bisa tahan sakitnya?" Ayah yang sedari tadi mencemaskan
keadaan Bunda mulai terpengaruh dengan penjelasan perawat.
"Bunda udah gak
tahan lagi yah... Sakit Yaah!" Jawab Bunda sambil menangis keras.
Setelah meminta
persetujuan keluarga, akhirnya malam itu juga ayah mendaftarkan Bunda untuk
dioperasi. Namun sakit yang Bunda derita semakin menjadi-jadi. "Apa gak
ada obat penghilang rasa sakit, Bu?" tanya ayah saat perawat masuk ke
kamar.
"Ga ada pak... Ditahan aja sakitnya,
beberapa jam lagi kok!"
Kamu tahu, Nak... Bunda
harus tahan rasa sakit luar biasa itu hingga jam 5 pagi. Bunda benar-benar
seperti orang kesurupan. Berteriak keras sambil memegangi perut. Sakit ini jauh
melebihi sakit saat bunda kecelakaan waktu itu. Sakitnya tak bisa dijelaskan
lagi.
Tepat jam 04.30,
perawat kembali masuk ke kamar, Bunda ga sadar lagi apa yang dilakukannya,
entah cek tensi, entah pengambilan sampel darah, Bunda sama sekali gak tahu
lagi. "Siap-siap ya, bu... Sebentar lagi kita ke ruang operasi."
ucapnya sebelum keluar dari kamar.
Benar saja, tak lama
laki-laki bermasker menjemput Bunda, Bunda dituntun untuk duduk di kursi roda.
Ayah mengikuti dari belakang. Kamu tahu, nak... Ketuban bunda pecah saat baru
saja masuk ke ruangan bedah. Tapi apa daya, bunda tidak bisa lagi membatalkan
operasi, karena begitu aturan dari rumah sakit. Bunda tetap harus dioperasi
saat itu juga.
Jarum besar itu masuk
ke punggung bunda. "Jangan bergerak ya, bu..." Pinta perawat ruang operasi.
Bunda manut saja.
Tak lama, separuh tubuh
bunda membeku. Bunda tak bisa lagi menggerakkan kaki bunda. "Sakit,
bu?" tanya perawat mencubit lengan bunda." Bunda mengangguk saja.
"Kalau yang ini sakit?" perawat kembali bertanya. Bunda menggeleng.
Dokter bedah sepertinya
mulai melaksanakan tugasnya. Bunda terbaring tak berdaya, namun pikiran bunda
kemana-mana. Ingat mati tentu saja. Tak sedikit operasi yang gagal. Bunda
berharap masih diberikan kesempatan untuk hidup, agar bunda bisa bertemu,
merawat, dan mendidik anak cantik bunda.
Beberapa menit
kemudian, bunda mendengar suara tangisan dedek. "Perempuan ya, bu..."
Suara perawat memberitahu Bunda. Alhamdulillah, Allahu Akbar.. Anak cantik
bunda lahir tepat jam 06.00 pagi, hari minggu tanggal 19 April 2020. Anak
cantik bunda langsung di bawa perawat untuk dibersihkan. Dan bunda masih di
ruang operasi untuk dijahit kembali. Bunda lega, nak... anak cantik bunda lahir
dengan selamat, sehat, dan tidak kurang suatu apa pun.
Keluar dari ruang
operasi, ayah mendekati pembaringan bunda. Ayah menangis tiba-tiba, bunda pun
ikut menangis. Sejak menikah, ini pertama kalinya bunda melihat ayah menangis.
"Terimakasih ya, sayang..." Ucap Ayah berlinangan airmata. Bunda
sungguh terharu.
"Ini foto dedek, Bun..."
Ayah menunjukkan foto anak cantik Bunda. Selain foto, ayah juga menunjukkan
sebuah video, anak cantik bunda menangis merdu. Tangis bunda semakin
menjadi-jadi. Ingin rasanya Bunda memelukmu erat, nak... Tapi bunda belum
diizinkan bertemu. Dedek masih dalam perawatan pihak rumah sakit.
30 menit kemudian,
bunda diantarkan kembali ke kamar rawat inap. Separuh tubuh bunda masih baal
alias mati rasa. Kedua kaki bunda belum bisa digerakkan.
Satu jam, dua jam, saat
obat bius perlahan-lahan menghilang, perut bagian bawah bunda terasa begitu
perih. Ya, bagaimana tidak, perut bunda baru saja disayat, Nak. Mata bunda pun
tiba-tiba membengkak.
"Ada keluhan, Bu?"
Perawat bermasker masuk ke ruangan. Bunda sampaikan tentang mata bunda yang
membengkak. "Ini mungkin efek bius, bu... Nanti kita ambil obatnya
ya." Jawabnya ramah.
"Bayinya kapan
diantar, Bu?" Atuk bersuara sebelum perawat meninggalkan kamar. Atuk sudah
gak sabar ingin bertemu cucunya.
"Sebentar lagi,
pak. Nanti ada perawat lain yang mengantarkannya ke sini."
Atuk, Neknu, dan Neksu.
Mereka semua menunggu dedek.
***
"Bu Rika, ini
bayinya ya..." Terdengar suara sambil mendorong box bayi masuk.
Luka operasi bunda
berasa sembuh seketika saat bunda melihat anak cantik bunda masuk ke kamar.
Atuk langsung menyambut dan menggendong dedek. Atuk juga mengazani dedek, meski
di bawah ayah pun sudah melakukannya.
Dedek lalu berpindah ke
tangan Neknu. Neknu membawa dedek ke pembaringan bunda. Bunda lagi-lagi
menangis bahagia saat mencium lembut kening dedek. "Selamat datang,
bidadari mungilku." ucap Bunda di dalam hati.
***
Hari kedua di rumah
sakit, Bunda bersin parah. Luka operasi bunda serasa disayat kembali.
Sakiiiiitt sekali, Nak... Periiih luar biasa.
"Pake masker,
Bun..." Ayah berulang kali meminta Bunda menggunakan masker. Meski
bermasker sekali pun bunda tetap akan bersin, bunda sudah hapal penyakit bunda
yang satu ini.
"Gak mempan, Yaaah..."
Rengek Bunda sok manja.
"Coba pakai
ini!" Sekarang giliran Atuk, Atuk menyodorkan inhaler. Ampiun, Bunda mana
pernah pakai itu.
Tak tenang, Bunda meminta
Ayah menghubungi perawat.
"Nanti tanya
langsung sama dokter ya, pak... Sebentar lagi dokternya visit." Jawaban mereka
tak memuaskan bunda.
Alhamdulillah, jam 2
siang bersin-bersin yang bunda derita pun berakhir dengan sendirinya. Ya,
memang begitu biasanya. Bertahun-tahun Bunda dilanda alergi, dan bunda gak tahu
itu alergi apa.
Setelah tiga hari di
rumah sakit, akhirnya kita dibolehkan pulang, Nak. Atuk sudah menunggu di depan
pintu masuk, siap untuk membawa dedek pulang ke rumah. Si mungil Bunda digendong
Neknu menuju mobil.
Di rumah, ternyata
sudah banyak yang menunggu. Ada juga Puyang yang baru datang dari kampung.
Semua berbahagia. Semua bersukacita menyambut kedatangan dedek.
Acara syukuran pun
digelar keesokan harinya. Tak banyak yang diundang, hanya keluarga dekat saja.
Semua karena pandemi covid-19. Tak apa, nanti saat acara aqiqah saja mengundang
banyak orang. Pikir bunda waktu itu.
"Udah dikasih nama
belum?" Tanya Tuk Ulil, sepupu Neknu.
Sebenarnya, sejak usia
26 minggu di dalam kandungan, Ayah dan Bunda sudah mempersiapkan nama yang
cantik untuk dedek. "Rafania Alnaira". Namun Atuk sangat keberatan.
"Artinya bagus, Pak."
Bunda mencoba mempertahankannya. Atuk tetap ilfeel.
Alasan Atuk cukup lucu. Dulu ada yang mengontrak rumah Atuk, janda satu anak,
namanya Fani. Dan Atuk khawatir cucunya bernasib sama. Ampiun deh, Atukmu.
Setelah berdiskusi dan
berdebat lama, akhirnya Ayah dan Bunda sepakat untuk mengganti "Rafania
Alnaira" menjadi "Rissya Alnaira". Tak apa Ayah dan Bunda mengalah,
asal Atuk senang, karena Bunda tahu Atuk sangat menyayangi cucunya.
Dari hari ke hari, anak
cantik Bunda semakin lucu dan menggemaskan. Anak cantik Bunda benar-benar merubah
segalanya. Merubah duka menjadi suka. Merubah sedih menjadi bahagia.
Alhamdulillah, tak
henti-hentinya bunda bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan
kepada Bunda. Bunda merasa menjadi perempuan paling bahagia, dianugerahi suami
yang baik dan anak yang membanggakan. Semoga keluarga kecil kita selalu Sakinah,
Mawaddah, wa Rahmah. Aamiin.
TAMAT
Numpang promo ya Admin^^
ReplyDeleteingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.club ^_$
add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^