PENGERTIAN POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Politik adalah pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang berwujud proses pembuatan keputusan, terkhusus pada negara. Pengertian Politik jika ditinjau dari kepentingan penggunanya, politik terbagi atas dua yaitu pengertian politik dalam arti kepentingan umum dan pengertian politik dalam arti kebijaksanaan. Pengertian politik dalam arti kepentingan umum adalah segala usaha demi kepentingan umum baik itu yang ada dibawah kekuasaan negara maupun pada daerah.
Pengertian politik secara singkat atau sederhana adalah teori, metode atau teknik dalam memengaruhi orang sipil atau individu. Politik merupakan tingkatan suatu kelompok atau individu yang membicarakan mengenai hal-hal yang terjadi didalam masyarakat atau negara. Seseorang yang menjalankan atau melakukan kegiatan politik disebut sebagai "Politikus". Politik dan pendidikan adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan. Politik menghasilkan sistem pendidikan, dan pendidikan mempengaruhi kehidupan politik.
Sedangkan kebijakan pendidikan merupakan kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan bangsa dibidang pendidikan, karena salah satu tujuan pembangunan bangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut hendaknya terus-menerus untuk dibangun sehingga akhirnya akan mencapai tujuan yang diharapkan yaitu kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Kesejahteraan ini dapat terwujud manakala manusia yang menjadi warga negara mempunyai tingkat kecerdasan yang memadai, untuk dapat menguasai dan mempraktekkan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki. Agar ilmu yang dimiliki dapat bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain.
Di dalam makalah ini, penulis akan membahas secara detail apa yang dimaksud dengan politik dan apa yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan.
Foto by: pixabay |
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Politik
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.[1]
Banyak para ahli menyikapi politik dengan berbagai pendapat, Joyce Mitchel dalam Philipus mengemukakan bahwa politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.[2]
Menurut Maran, politik merupakan studi khusus tentang cara-cara manusia memecahkan permasalahan bersama dengan masalah lain. Dengan kata lain, politik merupakan bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan tujuan-tujuan.[3] Menurut pendapat Roger F. Soltau politik adalah kegiatan dalam suatu sistem atau negara yang menyangkut proses untuk menunjukkan bersama negara dan melaksanakan tujuan itu.
Baca juga: Contoh makalah grounded theory
David Easton dalam Philipus mendefinisikan politik sebagai semua aktivitas yang mempengaruhi kebijaksanaan. Surbakti mengemukakan bahwa politik merupakan interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.[4]
Menurut Aristoteles politik adalah upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Menurut Meriam Budhiarjo, pengertian politik adalah macam-macam kegiatan yang menyangkut penentuan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan itu. Menurut Hans Kelsen politik adalah macam-macam kegiatan dalam suatu sistempolitik, atau negara, yang menyangkut proses menentukan sekaligus melaksanakan tujuan-tujuan sistem itu.[5]
Jika ditinjau dari kepentingan penggunanya pengertian politik terbagi atas dua yaitu pengertian politik dalam arti kepentingan umum dan pengertian politik dalam arti kebijaksanaan. Pengertian politik dalam arti kepentingan umum adalah segala usaha demi kepentingan umum baik itu yang ada dibawah kekuasaan negara maupun pada daerah. Pengertian politik secara singkat atau sederhana adalah teori, metode atau teknik dalam memengaruhi orang sipil atau individu. Politik merupakan tingkatan suatu kelompok atau individu yang membicarakan mengenai hal-hal yang terjadi didalam masyarakat atau negara. Seseorang yang menjalankan atau melakukan kegiatan politik disebut sebagai ”Politikus”.
Dalam prakteknya, politik dan pemerintah berjalan berdampingan. Artinya politik dan pemerintah itu saling berkaitan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik dalam pelaksanaannya di pemerintah menghasilkan kebijakan-kebijakan yang selanjutnya memberikan pengaruh terhadap segala aspek yang ada di suatu bangsa itu sendiri.
Berdasarkan berbagai definisi politik di atas, dapat disimpulkan bahwa politik sebagai aktivitas yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijaksanaan serta aktivitas antara masyarakat dan pemerintah untuk tujuan bersama.
Sedangkan Budaya politik dapat dilihat secara umum dari dua segi, yaitu:
- Masalah objektivitas versus subjektivitas dalam studi ilmiah yang mempertanyakan tentang peranan ideologi prasangka atau praduga dalam usaha mencari kebenaran.
- Masalah peranan ideologi di dalam proses politik yang sesungguhnya terjadi di masyarakat.
Hubungan politik dan pendidikan merupakan satu kesatuan yang erat dan sulit dipisahkan. Hal ini sama halnya, seperti mempertanyakan hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Alex Roseberg menganggap bahwa kedua berjalan secara bersama-sama, filsafat terkadang mendahului konsepsi ilmu pengetahuan, namun di abad modern dan post-modern, objek kajian filsafat adalah ilmu pengetahuan.[7]
Demikian halnya dengan politik dan pendidikan. Awalnya, politik pendidikan terlahir karena kebutuhan domestik dan kebutuhan teritori negara tertentu, namun pada perkembangannya, pendidikan menjadi kepentingan global. Imbasnya, politik (baca; kebijakan) pendidikan lokal harus disesuaikan dengan kaedah dan fitur mitos globalisasi. Politik pendidikan regional tidak selalu mementingkan kebutuhan nasional, melainkan pembangunan dunia global.[8]
M. Sirozi menggambarkan bahwa kata politik pendidikan tidak sesederhana dua kata selanjutnya. Politik pendidikan, dalam pandangannya, merupakan proses panjang yang membutuhkan keterlibatan struktur, proses perdebatan ilmiah, dan ramalan dampak (forcasting the effect), serta strategi yang khusus dalam proses Sosialisasinya.[9]
Dale (dalam Sirozi), menambahkan bahwa kajian politik pendidikan memiliki ciri; pertama, mempertanyakan proses pembuatan keputusan, kedua, mereduksi politik menjadi administrasi, dan ketiga, terfokus pada perangkat kerja kebijakan. Selain itu, politik pendidikan juga mengkaji efektifitas korelasional antara yang dikonsepsikan dengan fakta di lapangan.
Fungsi politik dalam pendidikan mengungkap jenis-jenis penyelenggaraan pendidikan, pengembangan kurikulum maupun pengembangan organisasi, dalam rangka menanamkan konsep-konsep filosofis tentang masyarakat politik yang baik atau tatanan sosial yang baik. Berkenaan dengan fungsi ini, maka Easton kemudian mengajukan pertanyaan, apa peran yang harus dimainkan oleh pendidikan dalam rangka membangun warga negara yang baik?
Dale dan Apple melihat fungsi politik pendidikan dari sudut pandang relasi negara dan pendidikan. Keduanya menemukan bahwa sekolah menjadi salah satu objek politik modern dimana kita dapat menyaksikan bagaimana kesadaran (consent) dan hegemoni tertentu terbangun dan mengalami kehancuran.Perubahan kurikulum disetiap periodesasi kepemimpinan di departemen pendidikan nasional adalah salah satu bukti tentang kesadaran hegemoni terbangun dan hancur.
Berbagai persoalan yang muncul belakangan dalam dunia pendidikan seperti unjuk rasa para guru, mahasiswa, depat publik tentang isu-isu pendidikan, terutama alokasi anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, otonomi lembaga pendidikan, tidak hanya membutuhkan pemahaman superficial tentang konteks politik dimana sekolah diselenggarakan, tetapi juga membutuhkan pemahaman tentang proses-proses yang menghasilkan berbagai keputusan mendasar tentang pendidikan disemua jenjang administratif. Disinilah fungsi politik pendidikan menjadi sangat diperlukan.
Baca juga: Review Buku metode penelitian kuantitatif
2. Pengertian Kebijakan Pendidikan
a. Pengertian kebijakan
Dalam bahasa Inggris kebijakan disebut public policy, yaitu suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Pada umumnya, pihak yang membuat kebijakan tersebut sekaligus mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.[10]
Kebijakan menurut Anderson yang dikutip oleh Ali Imron mengemukakan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti oleh para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah.[11] Sementara Budiarjo berpendapat bahwa kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.[12]
Pengertian di atas menunjukkan bahwa pihak-pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Kebijakan tersebut merupakan aturan-aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat siapa pun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijakan tersebut.
Menurut Syafaruddin, kebijakan adalah hasil pengambilan keputusan oleh manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip, maupun aturan yang berkaitan dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan para manager dan personel dalam menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat.
Thomas Dye memberi batasan atas kebijakan sebagai “apa saja yang hendak dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah.”[13] Aminullah yang dikutip oleh Edi Suharto[14], menyatakan bahwa: “kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh”.
Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa, kebijakan diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman tersebut bisa yang berwujud amat sederhana atau kompleks, bersifatumum ataupun khusus, luas ataupun sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperici, kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana.[15]
Pengertian di atas menunjukkan bahwa pihak-pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Kebijakan tersebut merupakan aturan-aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat siapa pun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijakan tersebut.
b. Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah yang berarti pendidikan.[16]
Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan lebih dari pada pengajaran, karena pengajaran sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya. Pendidikan adalah masa depan bangsa. Keberhasilan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dan pendidikan adalah salah satu cara untuk memperolah sumberdaya manusia yang handal.[17]
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.
Menurut buku “Higher Education For America Democracy”: Education is an institution of civilized society, but the purposes of education are not the same in all societies, an educational system finds it‟s the guiding principles and ultimate goals in the aims and philosophy of the social order in which it functions “pendidikan adalah suatu lembaga dalam tiap-tiap masyarakat yang beradab, tetapi tujuan pendidikan tidaklah sama dalam setiap masyarakat. Sistem pendidikan suatu masyarakat (bangsa) dan tujuan tujuan pendidikannya didasarkan atas prinsip-prinsip (nilai) cita-cita dan filsafat yang berlaku dalam suatu masyarakat (bangsa)”.
Menurut Brubacher dalam bukunya “Modern Philosophies of Education”: “Education should be thought of as the process of mans reciprocal adjusment to nature to his follows and to the ultimates nature of the cosmos. “Pendidikan diartikan sebagai proses timbal balik dari setiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman dan alam semesta.
Pendidikan merupakan pula perkembangan yang terorganisasi dan kelengkapan dari semua potensi manusiawi, moral, intelektual dan jasmani oleh dan untuk kepribadian individunya serta kegunaan masyarakatnya yang diarahkan demi menghimpun semua aktivitas tersebut bagi tujuan hidupnya”.[18]
Prof. Lodge dalam buku “Philosophy of Education”: The word “education” is used, sometimes in a wider, sometimes in a narrower, sense. In the wider sense, all experience is said to the educative and life is education and education is life. “Perkataan pendidikan kadang-kadang dipakai dalam pengertian yang luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian luas pendidikan adalah semua pengalaman, dapat dikatakan juga bahwa hidup adalah pendidikan atau pendidikan adalah hidup”. In the narrower sense “education is restricted to that function of the community which consists in passing in its traditions its background and its outlook to the members of the rising generation.
“Pengertian pendidikan secara sempit adalah pendidikan dibatasi pada fungsi tertentu di dalam masyarakat yang terdiri atas penyerahan adat istiadat (tradisi) dengan latar belakang sosialnya, pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi berikutnya.
c. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di bidang pendidikan. Ensiklopedia menyebutkan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di dalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut.
Kebijakan pendidikan adalah suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situsional. Pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga serta merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan agar tujuan yang bersifat melembaga dapat tercapai. [19]
Adapun kebijakan publik di bidang pendidikan dapat didefinisikan sebagai keputusan yang diambil bersama antara pemerintah dan aktor di luar pemerintah dan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan pada bidang pendidikan bagi seluruh warga masyarakat. Kebijakan publik bidang pendidikan meliputi anggaran pendidikan, kurikulum, rekrutmen tenaga kependidikan, pengembangan profesional staf, tanah dan bangunan, pengelolaan sumber daya, dan kebijakan lain yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung atas pendidikan.
H.A.R Tilaar sendiri memberikan makna yang sedikit berbeda tentang “kebijakan pendidikan”, menurutnya kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, diwujudkan atau dicapai melalui lembaga-lembaga sosial (social institutions) atau organisasi sosial dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Dengan demikian dapat dipahami suatu kebijakan apabila tidak segera diimplementasikan, maka tidak akan dapat diketahui tingkat keberhasilannya untuk orang banyak. Kebijakan hanya akan menjadi rencana konseptual yang akan tersimpan rapi dalam tumpukan arsip-arsip saja.
Mark Olsen & Anne-Maie O’Neil menyatakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi. Salah satu argument utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan.
Carter V. Good menyatakan, Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.
Marget E. Goertz yang dikutip oleh Riant Nugroho mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan[20]. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebijakan pendidikan dipahami oleh peneliti sebagai bagian dari kebijakan publik, yaitu kebijakan publik di bidang pendidikan. Dengan demikian kebijakan pendidikan harus sebangun dengan kebijakan publik.
Di dalam konteks kebijakan publik secara umum, yaitu kebijakan pembangunan, maka kebijakan merupakan bagian dari kebijakan publik. Kebijakan pendidikan dipahami sebagai kebijakan di bidang pendidikan, untuk mencapai tujuan pembangunan negara di bidang pendidikan, sebagai salah satu bagian dari tujuan pembangunan negara secara keseluruhan.
Secara teoritik, suatu kebijakan pendidikan dirumuskan dengan mendasarkan diri pada landasan pemikiran yang lebih ilmiah empirik. Kajian ini menggunakan pola pendekatan yang beragam sesuai dengan faham teori yang dianut oleh masing-masing penentu kebijakan. Dalam kajian ini, paling tidak ada dua pendekatan yang dapat direkomendasikan kepada para penentu/berwenang dalam merumuskan suatu kebijakan pendidikan.
Kebijakan pendidikan merupakan salah satu kebijakan negara di samping kebijakan-kebijakan lainnya seperti ekonomi, politik, pertahanan, agama dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan sub sistem dari kebijakan negara atau pemerintah secara keseluruhan.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.
3. Pendekatan dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan
a. Pendekatan Social Demand Approach (kebutuhan sosial)
Sosial demand approach adalah suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi, tuntutan, serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh masyarakat. Pada jenis pendekatan jenis ini para pengambil kebijakanakan lebih dahulu menyelami dan mendeteksi terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat sebelum mereka merumuskan kebijakan pendidikan yang ditanganinya.
Pendekatan social demand sebenarnya tidak semata-mata merespon aspirasi masyarakat sebelum dirumuskannya kebijakan pendidikan, akan tetapi juga merespon tuntutan masyarakat setelah kebijakan pendidikan diimplementasikan. Partisipasi warga dari seluruh lapisan masyarakat diharapkan terjadi baik pada masa perumusan maupun implementasi kebijakan pendidikan. Dalam perumusan kebijakan dapat digolongakan ke dalam tipe perumusan kebijakan yang bersifat pasif. Artinya suatu kebijakan baru dapat dirumuskan apabila ada tuntutan dari masyarakat terlebih dahulu.
b. Pendekatan Man-Power Approach
Pendekatan jenis ini lebih menitikberatkan kepada pertimbangan-pertimbangan rasional dalam rangka menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia (human resources) yang memadai di masyarakat. Pendekatan man-power ini tidak melihat apakah ada permintaan dari masyarakat atau tidak, apakah masyarakat menuntut untuk dibuatkan suatu kebijakan pendidikan tertentu atau tidak, tetapi yang terpenting adalah menurut pertimbangan-pertimbangan rasional dan visioner dari sudut pandang pengambil kebijakan.
Pemerintah sebagai pemimpin yang berwenang merumuskan suatu kebijakan memiliki legitimasi kuat untuk merumuskan ebijakan pendidikan. Dapat dipetik aspek penting dari pendekatan jenis kedua ini, bahwa secara umum lebih bersifat otoriter. Man-power approach kurang menghargai proses demokratis dalam perumusan kebijakan pendidikan, terbukti perumusan kebijakannya tidak diawali dari adanya aspirasi dan tuntutan masyarakat, akan tetapi langsung saja dirumuskan sesuai dengan tuntutan masa depan sebagaimana dilihat oleh sang pemimpin visioner. Terkesan adanya cara-cara otoriter dalam pendekatan jenis kedua ini. Namun dari sisi positifnya, dalam pendekatan man-power ini proses perumusan kebijakan pendidikan yang ada lebih berlangsung efisien dalam proses perumusannya, serta lebih berdimensi jangka panjang.[21]
4. Kriteria Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus yakni:
Memiliki tujuan pendidikan; Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan,
Memiliki aspek legal-formal; kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat,
Memiliki konsep operasiona; kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
Dibuat oleh yang berwenang;Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tidak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
Dapat dievaluasi; kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
Memiliki sistematika; kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya seperti kebijakan politik, kebijakan moneter, bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau di samping dan di bawahnya.
5. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Dalam proses kebijakan pendidikan implementasi kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan jembatan yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Menurut Anderson dalam bukunya abdul wahab, ada 4 aspek yang perlu dikaji dalam implementasi kebijakan yaitu:
- Siapa yang mengimplementasikan
- Hakekat dari proses administrasi
- Kepatuhan, dan
- Dampak dari pelaksanaan kebijakan
Sementara itu menurut Ripley & Franklin ada dua hal yang menjadi fokus perhatian dalam implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan What’s happening? (Apa yang terjadi). Kepatuhan menunjuk pada apakah para implementor patuh terhadap prosedur atau standard aturan yang telah ditetapkan. Sementara untuk “what’s happening” mempertanyakan bagaimana proses implementasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil dicapai, mengapa dan sebagainya.
Guna melihat keberhasilan implementasi, dikenal beberapa model implementasi, antara lain model yang dikembangkan Mazmanian dan Sabatier yang menyatakan bahwa Implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu 1) Karakteristik masalah, 2) Struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, 3) Faktor-faktor di luar peraturan.
C. KESIMPULAN
Kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Fungsi kebijakan pendidikan yaitu kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni: 1) Memiliki tujuan pendidikan, 2) Memenuhi aspek legal-formal, 3) Memiliki konsep operasional, 4) Dibuat oleh yang berwenang, 5) Dapat dievaluasi, 6) Memiliki sistematika.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Rohman, Memahami Pendidikan Dan Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009.
Alfian, Pemikiran Politik dan Pembangunan Politik di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1987.
Alex Roseberg, Philosopy of Science, New York: Routledge, 2001.
Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan Masa Depannya, Ed.I, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung, 2005.
Cheppy Hari Cahyono dan Suparlan Alhakim, Ensiklopedi Politika, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung: Refika Aditama, 2005.
Keith A. Nitta, The Politic of Structural Education Reform, New York; Routledge, 2008
M. Sirozi, Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta; Rajagrafindo Persada, 2010.
Muhsin, Politik Hukum Dalam Pendidikan Nasional, Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2007.
Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Surabaya: Yuridika, 2002.
Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Riant Nugroho, Public Policy, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014.
Robert A Dahl, Rezims And Opposition, London: Yale University Press.
Solichin Abdul Wahab, Analis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1978.
http.www.Wikipedia Pendidikan com
[1] Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Karya Agung, 2005), hal. 389.
[2]Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Surabaya: Yuridika, 2002), hal. 92
[3] Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 4
[4] Philipus, Op.Cit. hal. 90
[5] Alfian, Pemikiran Politik dan Pembangunan Politik di Indonesia, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1987), hal. 51
[6] Robert A Dahl, Rezims And Opposition, (London: Yale University Press), p. 157-163
[7] Alex Roseberg, Philosopy of Science, (New York: Routledge, 2001), 12
[8] Keith A. Nitta, The Politic of Structural Education Reform (New York; Routledge, 2008), 1-2
[9] M. Sirozi, Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta; Rajagrafindo Persada, 2010), 80
[10] Cheppy Hari Cahyono dan Suparlan Alhakim, Ensiklopedi Politika, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 170
[11] Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan Masa Depannya, Ed.I, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2002, hlm. 13.
[12] Ibid, hlm. 14.
[13] Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1978), hal. 3
[14] Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 4
[15] Solichin Abdul Wahab, Analis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Hal. 2
[16] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 83
[17] Muhsin, Politik Hukum Dalam Pendidikan Nasional, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2007), 22
[18] http.www.Wikipedia Pendidikan com
[19] Ali Imron, Op. Cit., hlm. 18.
[20] Riant Nugroho, Public Policy, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014), hal. 37
[21] Arif Rohman, Memahami Pendidikan Dan Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009), hal. 114-118
Post a Comment for "PENGERTIAN POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN"