Peran Majelis Ta’lim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Majelis taklim termasuk organisasi pendidikan luar sekolah atau lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal. Keberadaan majelis ta’lim cukup penting, mengingat sumbangsihnya yang sangat besar dalam menanamkan akidah dan akhlak yang luhur; meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan keterampilan jamaahnya; serta memberantas kebodohan umat Islam agar dapat meningkatkan pengalaman agama serta memperoleh kebahagiaan dan ridha Allah SWT.
Bila dilihat dari tujuannya, majelis taklim termasuk lembaga atau sarana dakwah Islamiyah yang secara self standing (kedudukan sendiri) dan self disciplined (disiplin diri) dapat mengatur dan melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam bentuk pembinaan, pendidikan, pengarahan dan bimbingan.
Berdasarkan sejarah kelahirannya, majelis taklim merupakan lembaga pendidikan tertua dalam Islam, sebab telah dilaksanakan sejak zaman nabi Muhammad SAW, meskipun pada waktu itu tidak disebut dengan istilah majelis taklim. Namun pengajian-pengajian Nabi Muhammad SAW yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi di rumah Arqam Ibnu Al-Arqam, dapat dianggap sebagai majelis taklim dalam konteks pengertian sekarang.[1]
Keberadaan majelis taklim dengan segala aktifitasnya di Indonesia dapat dikatakan sebagai fenomena yang unik, selain merupakan produk dan hasil dari kebudayaan dan peradaban yang telah dicapai oleh umat Islam di abad modren ini, lembaga ini juga berakar dari gerakan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah. Bahkan majelis taklim ini telah memberikan makna tersendiri dalam dakwah dan pengembangan masyarakat serta menjadi salah satu bentuk dan cara dalam melakukan sosialisasi, internalisasi, ekternalisasi ajaran Islam, khususnya untuk kaum ibu-ibu di semua lapisan masyarakat.
Majelis Taklim atau disebut juga dengan kegiatan pengajian merupakan sarana penyebaran ilmu-ilmu agama dan tata cara beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang biasa dilaksanakan di masjid. Kegiatan majelis taklim berfungsi sebagai media dakwah Islamiyah. Majlis ta’lim juga berfungsi sebagai; tempat belajar, tempat kontak sosial, dan juga untuk mewujudkan minat sosial.[2]
Secara historis didirikannya majelis taklim dalam masyarakat didasari oleh sebuah kesadaran kolektif umat Islam tentang betapa pentingnya menuntut ilmu agama dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan secara terorganisir, teratur dan sistematik. Potensi dan peran strategis majelis taklim hendaknya didukung dengan manajemen yang baik, SDM yang profesional, dan kurikulum yang sistematik dan berkesinambungan.
Kegiatan majelis taklim sangat penting bagi masyarakat setempat, termasuk bagi para Pekerja Seks Komersial (PSK), sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 285 yang artinya:
Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."
Dari ayat di atas maka muslim dan para pekerja seks komersial diharapkan dapat sadar dan beriman kepada Allah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya serta percaya kepada sesuatu yang ghoib (sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh salah satu panca indera), seperti percaya bahwa di atas kekuasaan manusia ada yang maha kuasa yaitu Allah. Dan yakin akan hari kemudian, maka orang-orang itulah yang menang dan sukses dari dunia sampai akherat.
Majelis taklim Surau Az-Zikri merupakan salah satu yang mengemban amanat untuk menyebarkan ilmu pengetahuan Islam kepada masyarakat muslim pada umumnya, dan masyarakat sekitar Surau khususnya.
Berdasarkan grand tour yang penulis lakukan di Surau Az-Zikri di Jalan Pelantar II Sungai Guntung, dapat dikatakan Surau Az-Zikri belum difungsikan dengan baik dalam rangka meningkatkan sikap keagamaan pekerja seks komersial (PSK). Surau Az-Zikri hanya difungsikan untuk pelaksanaan shalat wajib lima waktu, kegiatan pembelajaran al-Quran, dan ceramah agama yang disampaikan oleh ustadz. Sedangkan pengajian rutin bulanan, majelis taklim ibu-ibu, dan majelis zikir di surau Az-Zikri belum pernah dilaksanakan.
Indikasi minimnya pengaruh kegiatan keagamaan terhadap Pekerja seks komersial (PSK) dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut: Pertama, minimnya jumlah jamaah shalat wajib di Surau Az-Zikri, Kedua, minimnya partisipasi warga pekerja seks komersial (PSK) pada kegiatan keagamaan di surau Az-Zikri. Hal ini berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu PSK yang menyatakan mereka tidak pernah mengikuti kegiatan keagamaan dan mereka tidak tertarik untuk mengikuti kegiatan keagamaan tersebut.
Berdasarkan hasil grand tour inilah penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang peran majelis taklim dalam meningkatkan sikap keagamaan Pekerja seks komersial dengan judul penelitian: Peran Majelis Ta’lim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Jalan Pelantar II Sungai Guntung.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan konteks penelitian yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: Mengapa Majelis Taklim Surau Az-Zikri di Jalan Pelantar II Sungai Guntung belum difungsikan dengan baik?
Permasalahan tersebut dikembangkan menjadi pertanyaan penelitian yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini sebagai berikut:
- Bagaimana perencanaan Majlis Taklim Surau az-Zikri dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jalan Pelantar II Sungai Guntung?
- Bagaimana Pengorganisasian Mejelis Taklim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jalan Pelantar II Sungai Guntung?
- Bagaimana Pelaksanaan Majelis Taklim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jalan Pelantar II Sungai Guntung?
- Bagaimana Pengawasan Majelis Taklim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Jalan Pelantar II Sungai Guntung?
C. Fokus Penelitian
Yang menjadi fokus penelitian dalam proposal ini adalah tentang Peran Majelis Taklim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jalan Pelantar II sungai guntung.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mencari penyebab kurang optimalnya Peran Majelis Taklim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jalan Pelantar II Sungai Guntung.
b. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah ingin:
- Menemukan dan Menganalisis Bagaimana perencanaan Majlis Taklim Surau az-Zikri dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jalan Pelantar II Sungai Guntung.
- Menemukan dan Menganalisis Bagaimana Pengorganisasian Mejelis Taklim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jalan Pelantar II Sungai Guntung.
- Menemukan dan Menganalisis Bagaimana Pelaksanaan Majelis Taklim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jalan Pelantar II Sungai Guntung.
- Menemukan dan Menganalisis Bagaimana Pengawasan Majelis Taklim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Jalan Pelantar II Sungai Guntung.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan berguna:
- Sebagai bahan informasi yang berguna bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.
- Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pustaka ilmiah dan diharapkan menjadi bahan bacaan bagi yang akan mengadakan penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN STUDI RELEVAN
A. LANDASAN TEORI
1. Peran Majelis Ta’lim
Di dalam kamus bahasa Indonesia, peran adalah suatu yang menjadi bagian atau memegang pimpinan.[3] Sedangkan menurut Veithzal Rivai dan Sylviana Murni, peran dapat diartikan sebagai perilaku yang diatur dan diharapkan dari seseorang dalam posisi tertentu.[4]
Sedangkan majelis ta’lim adalah suatu tempat atau wadah yang di dalamnya terdapat proses belajar mengajar para jamaah atau anggotanya. Keberadaan majelis ta’lim menjadi ujung tombak yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Melihat peran yang begitu besar dari majelis ta’lim ini, maka pemerintah menjadikan majelis ta’lim sebagai sub sistem pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam undang-undang republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan pasal 30 tentang pendidikan keagaamaan.
Menurut Nurul Huda dalam bukunya; majelis ta’lim yaitu lembaga pendidikan non formal Islam yang memiliki kurikulum tersendiri, diselenggarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh jama’ah yang relatif banyak, dan bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah Swt antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dan lingkungannya; dalam rangka membina masyarakat yang bertaqwa kepada Allah Swt.[5]
Jika ditinjau dari strategi pembinaan umat, maka dapat dikatakan bahwa majelis taklim merupakan wadah atau wahana dakwah islamiyah yang murni institusional keagamaan yang melekat pada agama Islam itu sendiri. Hal ini senada dengan penjelasan yang dikemukakan oleh M. Arifin bahwa: Majelis taklim menjadi sarana dakwah dan tabligh yang Islami di samping berperan sentral dalam pembinaan dan peningkatan kualitas hidup umat Islam juga diharapkan dapat menyadarkan umat Islam dalam rangka menghayati, memahami, dan mengamalkan ajaran agama yang kontekstual sehingga dapat menjadikan umat Islam sebagai ummatan wasathan yang meneladani kelompok umat Islam.[6]
Dari beberapa definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa majelis taklim merupakan:
- Majelis taklim adalah tempat berlangsungnya kegiatan pengajian atau pengajaran agama Islam. Waktunya berkala tetapi teratur tidak tiap hari atau tidak seperti sekolah.
- Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan Islam non formal yang pengikutnya disebut jamaah bukan pelajar atau murid. Hal ini didasarkan karena kehadiran di majelis taklim tidak merupakan suatu kewajiban sebagaimana dengan kewajiban murid di sekolah.
Fungsi majelis taklim sebagai sarana pembinaan umat sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Agama Islam bukan hanya sekedar konsep ajaran yang dogmatis, melainkan ajaran yang disampaikan oleh Tuhan melalui Nabi Muhammad SAW. Majelis taklim diharapkan dapat memberi jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan-pertanyaan yang menghadang penghayatan dan mengaplikasikan agama dalam benak umat.
Sebagai lembaga pendidikan non-formal, majelis taklim berfungsi sebagai berikut:
- Membina dan mengembangkan ajaran Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah Swt.
- Sebagai taman rekreasi rohaniyah, karena penyelenggaraannya bersifat sentral.
- Sebagai ajang berlangsungnya silaturrahim yang dapat menghidupsuburkan dakwah dan ukhuwah Islamiyah.
- Sebagai sarana dialog berkesinambungan antara ulama dan umara dengan umat.
- Sebagai media penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan bangsa pada umumnya.[7]
Adapun macam-macam majelis taklim yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia, jika dikelompokkan dapat dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain[8]:
- Dilihat dari jamaahnya, yaitu: majelis taklim kaum ibu/muslimah/perempuan, majelis taklim kaum bapak/muslimin/laki-laki, majelis taklim kaum remaja, majelis taklim anak-anak, majelis taklim campuran laki-laki dan perempuan/kaum bapak dan ibu.
- Dilihat dari organisasinya, majelis taklim ada beberapa macam, yaitu: majelis taklim biasa, dibentuk oleh masyarakat setempat tanpa memiliki legalitas formal kecuali hanya member tahu kepada lembaga pemeritahan setempat, majelis taklim berbentuk yayasan, biasanya telah terdaftar dan memiliki akte notaries, majelis taklim berbentuk ormas, majelis taklim di bawah ormas, majelis taklim di bawah orsospol.
- Dilihat dari tempatnya, majelis taklim terdiri dari: majelis taklim masjid atau mushola, majelis taklim perkantoran, majelis taklim perhotelan, majelis taklim pabrik atau industri, dan majelis taklim perumahan.
Sedangkan prinsip-prinsip pengelolaan majelis taklim adalah sebagai berikut:
- Bahwa inti majelis taklim adalah penanaman nilai-nilai agama, karenanya dapat digunakan pendekatan psikologis dalam memahami potensi yang dimiliki peserta/jamaah, yaitu melalui pendekatan potensi kognitif, efektif, dan psikomotorik ajaran agama.
- Para pengelola majelis taklim hendaknya memahami tentang: pengertian, sejarah, tujuan, kedudukan, persyaratan, unsur-unsur, jenis, sarana prasarana, waktu penyelenggaraan, peserta/jamaah, guru, kurikulum, penyajian pelajaran, pembiayaan, kegiatan kemasyarakatan, dan juga penilaian majelis taklim.
- Setiap majelis taklim hendaknya memiliki pedoman pelaksanaan pengajaran atau KBM yang terdiri dari: kurikulum, materi, metode, persiapan pengajaran dan penilaian.
- Setiap majelis taklim hendaknya memiliki pedoman penyelenggaraan administrasi yang baik, dengan melaksanakan dasar dan azas-azas serta prinsip organisasi yang lebih sederhana, yaitu: planning, organizing, actuating, dan controlling.
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa majelis taklim adalah lembaga pendidikan Islam non formal yang berperan dalam membina dan meningkatkan sikap keagamaan umat Islam. Sebagai lembaga pendidikan, majelis taklim berfungsi sebagai sarana pembinaan umat, termasuk pembinaan sikap keagamaan pekerja seks komersial (PSK).
2. Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK)
Sikap menurut bahasa (etimologi) adalah “Perbuatan yang didasarkan pada pendirian, pendapat atau keyakinan”.[9] Sikap atau dalam bahasa Inggris disebut attitude menurut Ngalim Purwanto adalah “Perbuatan atau tingkah laku sebagai respon atau reaksi terhadap suatu rangsangan atau stimulus”.[10] G.W. Allport, dikutip oleh Adryanto, mengemukakan bahwa “sikap adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya”.[11]
Sedangkan keagamaan berasal dari akar kata agama, yang mendapat imbuhan “ke dan an”. Penambahan imbuhan tersebut merubah makna dari kata dasar agama. Agama diartikan sebagai sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yg bertalian dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu.[12] Sedangkan keagamaan memiliki arti segala sesuatu yang berhubungan dengan agama.
Selanjutnya, penulis kemukakan tentang Pekerja Seks Komersial (PSK).
Pekerja Seks Komersial (PSK) atau dikenal dengan prostitusi yaitu pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Pekerja Seks Komersial (PSK) juga dapat diartikan sebagai wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual, dan wanita tersebut mendapat sejumlah uang sebagai imbalan, serta dilakukan di luar pernikahan.[13]
Menurut istilah, prostitusi di artikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.
Pengertian lain tentang prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks untuk mendapatkan uang. W.A. Bonger dalam tulisannya menyebutkan definisi prostitusi adalah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan- perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.
Menurut Pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut menyatakan barang siapa yang pekerjaannya atau kebiasaannya, dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak- banyaknya seribu rupiah.
Di antara faktor yang melatarbelakangi seseorang memasuki dunia prostitusi dapat dibagi menjadi dua, yaitu; faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar moral dan nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi.
Prostitusi merupakan gejala penyimpangan perilaku kemasyarakatan di mana wanita menjual diri, melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Ini menunjukkan bahwa prostitusi adalah peristiwa penjualan diri dengan menjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu dengan imbalan atau bayaran. Pekerja seks komersial sangat erat kaitannya dengan seks bebas. Sekarang seringkali ditemukan seks bebas pada remaja yang disebabkan beberapa faktor seperti: kemiskinan, tekanan yang datang dari teman pergaulannya, adanya tekanan dari pacar, adanya kebutuhan badaniah, rasa penasaran, ataupun pelampiasan diri.[14]
Prostitusi sering disebut sebagai profesi, para pelakunya sering dicap buruk oleh masyarakat sekitarnya, bahkan mungkin oleh diri mereka sendiri. Prostitusi dapat menimbulkan akibat di antaranya: adanya keinginan dan kemauan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan. Kemudian merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat orang mengenyam kesejahteraan hidup, kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini, khususnya mengekploitir kaum lemah/wanita untuk tujuan-tujuan komersil.[15]
Masalah-masalah tersebut di atas akan semakin mengkristal apabila tuntutan-tuntutannya dikaitkan dengan adanya tuntutan sosial-ekonomi yang dihadapi masyarakat di mana kebutuhan hidup yang semakin sulit dan mahal.
Perkembangan prostitusi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Kartini Kartono mengatakan bahwa: Statistik menunjukkan kurang lebih 75% dari jumlah pelacur adalah wanita- wanita muda di bawah umur 30 tahun. Mereka itu pada umumnya memasuki dunia pelacuran pada usia yang muda, yaitu 13-24 tahun; dan yang paling banyak ialah usia 17-21 tahun.[16]
Secara langsung maupun tidak langsung, pelacuran atau usaha-usaha prostitusi akan menimbulkan dampak buruk antara lain: penyebarluasan penyakit kelamin dan kulit, merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, moral, susila, hukum dan agama, memberikan pengaruh yang tidak bermoral kepada lingkungan, khususnya anak muda dan remaja maupun juga orang dewasa. Oleh karena itu, perbuatan prostitusi sangat dilarang oleh semua agama, termasuk agama Islam. Islam dengan tegas melarang perbuatan prostitusi, sebab melanggar norma agama dan termasuk kategori zina.
Kurangnya pemahaman keagamaan menjadi salah satu pendorong untuk melakukan perbuatan asusila. Religiusitas bukan hanya penghayatan terhadap nilai-nilai agama saja, namun juga perlu adanya pengamalan nilai-nilai tersebut. Religiusitas adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agama. Religiusitas dapat diketahui melalui beberapa aspek penting, yaitu: aspek keyakinan terhadap ajaran agama (aqidah), aspek ketaatan terhadap ajaran agama (syari’ah atau ibadah), aspek penghayatan terhadap ajaran agama (ihsan), aspek pengetahuan terhadap ajaran agama (ilmu) dan aspek pelaksanaan ajaran agama (amal atau ahlak).
Dari beberapa teori yang telah dikemukakan di atas, maka yang dimaksud dengan sikap keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) dalam penelitian ini adalah sikap individu dalam mengikuti dan melaksanakan perintah-perintah agamanya. Terdapat dua kutub yang berlawanan dalam pribadi setiap Pekerja Seks Komersial (PSK). Satu sisi mereka telah mendapatkan pelajaran keagamaan, tetapi di sisi lain mereka juga diharuskan mencari nafkah dengan cara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama.
B. PENELITIAN YANG RELEVAN
Sebelum penulis mengadakan penelitian, terlebih dahulu penulis melakukan studi relevan yaitu mengidentifikasi sumber-sumber dalam bentuk hasil penelitian yang telah ada dan relevansinya dengan penelitian yang akan dilakukan, dengan tujuan agar tidak terjadi kesamaan dalam penelitian baik dari sisi materi penelitian, subjek, ataupun hasil temuan.
Di antara penelitian-penelitian yang dianggap mempunyai relevansi dengan penelitian yang penulis lakukan, antara lain:
- Penelitian yang ditulis oleh M. Fahrul Azhari tentang “Model Pembinaan Keagamaan Islam Pada Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Lokalisasi Tegal Panas Desa Jatijajar Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang Tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Isi atau materi pembinaan keagamaan Islam adalah dengan memberikan materi dari: a). Dimensi aqidah b). Dimensi ibadah c). Dimensi akhlak (2). Pelaksanaan pembinaan keagamaan Islam untuk tempat kadang dilakukan di masjid, mushola dan gedung PKK yang sudah tersedia di lokalisasi Tegal Panas. (3) Model pembinaan keagamaan Islam menambahkan serta mengembangkan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Model pembinaan keagamaan pada pekerja seks komersial yang digunakan adalah model ceramah (4) kendala-kendala dalam pembinaan keagamaan Islam dan upaya untuk mengatasinya yaitu dengan adanya aturan menjadikan hal positif dan akhirnya para anak asuh (wanita binaan) banyak yang mengikuti pembinaan keagamaan Islam dan kegiatan-kegiatan yang lain. Karena memberikan hukuman atau sanksi kepada PSK atau pelacur agar bisa menambah pengalaman mereka atau membuat mereka disiplin untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pengelola terutama dalam kegiatan pembinaan keagamaan.
- Penelitian yang dilakukan oleh Feri Andi tentang “Peran Majelis Ta’lim dalam Meningkatkan Pemahaman Keagamaan”. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa majelis taklim sebagai lembaga non formal yang ada di tengah-tengah masyarakat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perkembangan pemahaman keagamaan pada masyarakat.
- Penelitian yang dilakukan oleh Achmad Marsaidi tentang “Dakwah Dalam Pembinaan Mantan Wanita Tuna Susila Di Panti Sosial Bina Karya Wanita Harapan Mulya Kedoya Jakarta Barat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dakwah di panti sosial bina karya meliputi pengajian agama, peringatan hari besar Islam, dan peringatan hari besar Nasional.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang memerlukan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh berhubungan dengan objek yang diteliti bagi menjawab permasalahan untuk mendapat data-data kemudian dianalisis dan mendapat kesimpulan penelitian dalam situasi dan kondisi tertentu.
Ada dua alasan digunakannya pendekatan ini. Pertama, data yang akan diungkap adalah dalam bentuk pendapat, pandangan, komentar, kritik, alasan dan lain sebagainya. Kedua, penelitian ini harus memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku dalam situasi tertentu.[17]
Menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana yang dikutip oleh Moleong, mendifinisikan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.[18]
Pendekataan penelitian kualitatif disebut juga dengan pendekatan penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada obyek yang alamiah yaitu obyek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika tersebut. Istilah naturalistik menunjukkan bahwa pelaksanaan penelitian terjadi secara alamiah, apa adanya dalam situasi normal dan menekankan pada deskripsi secara alami.
Model penelitian naturalistik menurut Noeng Muhadjir disebut sebagai model yang telah menemukan karakteristik kualitatif yang sempurna, artinya bahwa kerangka pemikiran, filsafat yang melandasinya, ataupun operasionalisasi metodologinya bukan sekedar merespon dan bukan sekedar menggugat yang kuantitatif, melainkan membangun sendiri kerangka pemikirannya, filsafatnya, dan operasionalisasi metodologinya.[19]
Lebih lanjut Noeng Muhadjir mengatakan bahwa asumsi dasar dari pendekatan fenomenologi adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan.[20]
Sebagai metode penelitian, fenomenologi sering dikenal sebagai metode deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif yang memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah sesuatu tindakan kreatif yakni tindakan menuju pemaknaan.
Penelitian fenomenologi berorientasi untuk memahami, menggali, dan menafsirkan arti dari peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena dan hubungan dengan orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu. Ini biasa disebut dengan penelitian kualitatif dengan menggunakan pengamatan terhadap fenomena-fenomena atau gejala-gejala sosial yang alamiah, digunakan sebagai sumber data, pendekatan ini berdasarkan kenyataan lapangan.[21]
Sebagai titik berangkat sebuah penelitian, realitas ini dapat dilihat dari hubungan antara dua faktor atau lebih. Dalam persoalan kemanusiaan misalnya, bangsa Indonesia dikenal dengan masyarakatnya yang agamis, religus dan ramah yang mestinya dalam praktiknya juga mencerminkan pandangan hidupnya yang bersumber pada nilai-nilai dan aturan keagamaan. Namun dalam kenyataannya terdapat banyak penyimpangan perilaku hidup masyarakatnya seperti korupsi, kolusi, nepotisme merajalela, manipulasi, kekerasan dan tindak kejahatan lainnya masih banyak terjadi. Realitas di atas memunculkan persoalan, mengapa bisa terjadi keadaan yang demikian? Apa yang salah dengan masyarakat bangsa yang demikian? Di sinilah muncul pertanyaan dasar yang bisa menjadi titik berangkat sebuah penelitian sosial keagamaan.[22]
Dari contoh tersebut, jelas bahwa pentingnya kejelasan realitas dan permasalahannya sebagai titik berangkat sebuah penelitian, apalagi penelitian lapangan seperti penelitian kualitatif. Karena itulah setiap peneliti semestinya memulai rencana penelitiannya dari realitas nyata. Jika penelitiannya bersifat lapangan, maka disarankan terlebih dahulu untuk melakukan kunjungan lapangan dan melaksanakan penelitian pendahuluan. Sebab, hanya dengan demikian peneliti dapat memastikan bahwa titik berangkatnya untuk meneliti adalah benar, nyata, dan realitas. Bukan sebaliknya, hanya dugaan dan perkiraan semata.
Adapun karakteristik pendekatan fenomenologi menurut Asmadi Alsa dalam Iskandar yaitu:
- Tidak berasumsi mengetahui hal-hal apa yang berarti bagi manusia yang akan diteliti.
- Memulai penelitian dengan keheningan untuk menangkap apa yang diteliti.
- Menekan pada aspek subjektif prilaku manusia, berusaha masuk di dalam dunia konseptual subjek, agar dapat memahami bagaimana dan makna apa yang mereka konstruksi di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.
- Mempercayai bahwa dalam kehidupan manusia banyak cara yang dipakai untuk menafsirkan pengalaman-pengalaman, melalui interaksi kita dengan orang lain, dan ini merupakan makna dari pengalaman dan realita.
- Semua cabang kualitatif berpendirian bahwa untuk memahami subjek adalah dengan melihatnya dari sudut pandang subjek itu sendiri, artinya dalam melakukan penelitian kualitatif, peneliti menggunakan pendekatan mengkonstruksikan penelitiannya berdasarkan pandangan subjek yang ditelitinya.[23]
Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan, 1). menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, 2). Metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dan responden, 3). Metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.[24]
Dalam penelitian kualitatif data yang dikumpulkan kemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, tape recorder, dokumen pribadi, catatan atau memo dan dokumen resmi lainnya.[25] Penelitian kualitatif menghendaki agar penelitian dan hasil interpretasi yang diperoleh dibandingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sumber data.
Hasil penelitian ini diharapkan mendapatkan gambaran yang jelas tentang peran majelis Taklim Surau Az-Zikri dalam meningkatkan sikap keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK), yang meliputi: perencanaan majelis taklim Surau Az-Zikri, pengorganisasian majelis taklim Surau Az-Zikri, pelaksanaan majelis taklim Surau Az-Zikri, dan pengawasan majelis taklim Surau Az-Zikri.
B. Situasi Sosial dan Subjek Penelitian
a. Situasi Sosial
Situasi sosial adalah lokasi atau tempat yang ditetapkan untuk melakukan penelitian, karena penelitiannya adalah riset sosial atau lingkungan manusia atau budaya maka dinamakan dengan situasi sosial (Social Setting). Situasi sosial menurut Spradley terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis.[26] Adapun lokasi yang akan penulis teliti yaitu di Surau Az-Zikri Jalan Pelantar II sungai Guntung.
b. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah benda, hal, atau orang tempat data untuk variable penelitian yang dipermasalahkan melekat. Subjek penelitian dapat berupa benda, hal atau orang. Ketiga jenis subjek yang disebutkan selalu terkait dengan orang walaupun benda dan hal bukan berwujud orang. Hampir semua benda ada pemiliknya dan pemiliknya adalah orang, maka dapat diambil kesimpulan bahwa subjek penelitian pada umumnya manusia atau apa saja yang menjadi urusan manusia.[27]
Penemuan subjek penelitian dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu”.[28] Adapun yang menjadi subjek penelitian ini adalah Kepala Desa, pengurus surau Az-Zikri, Masyarakat setempat, dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Orang-orang ini nantinya akan menjadi informan bagi peneliti karena diasumsikan mereka paling mengetahui tentang informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.
Sedangkan teknik sampling yang digunakan dalam penentuan sampel adalah dengan menggunakan purposive sampling (pengambilan sampel tujuan). Menurut Iskandar, purposive sampling adalah pengambilan sampel berdasarkan penilaian subjektif peneliti berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkut paut dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya dengan pertimbangan tertentu.[29]
Pengambilan sampel dari sumber data dengan pertimbangan tertentu. Sanafiah Faisal menyatakan bahwa, pertama, subjek telah lama menyatu dengan medan aktifitas penelitian; kedua, subjek masih melibatkan diri dalam lingkungan penelitian; ketiga, subjek mempunyai banyak waktu atau kesempatan untuk dimintai informasi.[30]
Informan dalam penelitian ini sebagian didatangi dan diwawancarai, dan sebagian lain diamati dan diobservasi secara langsung. Hal ini dilakukan untuk penyesuaian informasi atau data yang diperoleh melalui wawancara dengan data yang diperoleh melalui observasi.
C. Jenis dan Sumber Data
Data merupakan jenis-jenis sumber yang diperoleh peneliti pada subjek penelitiannya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data yang dapat dimaknai untuk diinterpretasi dalam rangka menggambarkan lebih rinci tentang kegiatan manajemen kepala sekolah dalam mengelola laboratorium komputer.
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam proses penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.
1) Data primer
Data primer adalah data yang diambil langsung kepada sumbernya, tanpa adanya perantara. Sumber yang dimaksud, dapat berupa benda-benda, situs, atau manusia. Teknik pengumpulan data dalam konteks data primer ini tergantung jenis data yang diperlukan, jika data yang diperlukan adalah data tentang manusia, maka penelti dapat memperolehnya dengan menyiapkan seperangkat alat instrumen, atau melakukan observasi langsung terhadap subyek atau setting social yang diteliti”[31].
Data primer ini diperoleh langsung di lapangan pada waktu penelitian sedang berlangsung dalam bentuk informasi tentang Peran Majelis Taklim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jalan Pelantar Ii Sungai Guntung.
2) Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung dari sumbernya.[32] Data sekunder dapat berupa dokumentasi tertulis yang terdapat di lapangan.
Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari buku-buku yang berkaitan dengan peran majelis taklim, sikap keagamaan, dan lain sebagainya.
2. Sumber Data
Sumber data merupakan hal yang penting dari suatu penelitian, karena dari sumber data itulah akan diperoleh informasi dari suatu penelitian. Sumber data dapat berupa subjek penelitian (orang) dan dapat pula berbentu objek (benda). Dari kedua sumber inilah akan diperoleh data yang akan dijadikan sebagai jawaban dari sesuatu masalah penelitian. Sumber data merupakan objek utama penelitian yang telah direncanakan. Sumber data biasanya terkait dengan manusia dan prilakunya, serta objek lainnya yang ada dalam alam ini.
Menurut Kaelan sumber data itu adalah mereka yang disebut narasumber, informan, partisipan, teman dan guru dalam penelitian.[33] Sedangkan menurut Satori, sumber data bisa berupa benda, orang, maupun nilai, atau pihak yang dipandang mengetahui tentang social situation dalam objek material penelitian (sumber informasi).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sumber data dalam penelitian adalah orang, benda, objek yang dapat memberikan informasi, fakta, data, dan realitas yang terkait atau relevan dengan apa yang dikaji atau diteliti. Data dan sumber data dalam sebuah penelitian adalah satu paket. Data tidak mungkin dipisahkan dengan sumber data. Pemahaman yang benar terhadap data akan memudahkan dalam menemukan sumber data. Sebaliknya pemilihan sumber data yang tepat akan menentukan kebenaran data yang dihasilkan dalam penelitian.
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kepala Desa, pengurus Surau, dan masyarakat setempat. Sumber data utama dihimpun melalui catatan tertulis, rekaman video/audio, dan pengambilan foto. Pencatatan sumber data diambil melalui wawancara dan pengamatan langsung. Sedangkan sumber data tambahan yaitu segala bentuk dokumen baik tertulis maupun foto, seperti buku, dokumen arsip, majalah ilmiah, dan juga termasuk jurnal ilmiah yang dapat memberikan informasi untuk penelitian yang dilakukan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa metode pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.[34]
Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data yang lazim digunakan adalah observasi, wawancara, dan studi dokumentasi untuk menghimpun data atau gambar, serta diskusi fokus.[35]
1. Metode Observasi
Secara terminologi, observasi berasal dari istilah Inggris observation yang bermakna pengamatan, pandangan, pengawasan. Atau dalam kata keterangan sebagai observe yang berarti mengamati, melihat, meninjau, menjalankan, mematuhi, memperhatikan, menghormati.[36] Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.[37]
Menurut Bungin,[38] observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indra mata sebagai alat bantu utamanya, di samping indra lainnya seperti telinga, hidung, mulut dan kulit. Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya.
Observasi atau pengamatan merupakan teknik pengumpulan data yang paling utama dalam penelitian kualitatif. Observasi berbeda dengan interviuw, cakupan observasi lebih luas dan tidak terbatas hanya pada manusia saja, benda-benda sekecil apa pun dan dalam bentuk apa pun dapat diamati melalui observasi langsung ke lapangan. Dalam melakukan observasi diperlukan seorang peneliti yang professional, karena pada teknik pengumpulan data melalui observasi unsur subjektivitas sangat besar sehingga hasil yang diperoleh melalui observasi sangat bergantung pada kualitas seorang peneliti. Jika seorang peneliti itu tidak professional maka akan menghasilkan data yang kurang baik.[39]
Teknik pengamatan yang peneliti gunakan adalah pengamatan terlibat (Participant Observation). Maksudnya adalah studi yang disengaja dan dilakukan secara sistematis, terencana, dan terarah pada suatu tujuan di mana pengamat atau peneliti terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari dari subjek atau kelompok yang diteliti.
2. Metode Wawancara
Menurut Suharsimi Arikunto, wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.[40] Wawancara diperlukan untuk melengkapi data yang tidak terekam melalui observasi. Wawancara juga dapat mengungkap fakta jauh dibalik data yang teramati.
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Melaksanakan teknik wawancara berarti melakukan interaksi komunikasi atau percakapan antara pewawancara (interviewer) dan terwawancara (interviewee) dengan maksud menghimpun informasi dari interviewee. Interviewee pada penelitian kualitatif adalah informan yang dari padanya pengetahuan dan pemahaman diperoleh.[41]
Sebagai sebuah teknik yang penting dalam pengumpulan data penelitian kualitatif, ada tiga bentuk wawancara menurut Fontana dan Frey dalam Denzin dan Lincoln, yakni wawancara terstruktur, semi terstruktur, dan tak terstruktur. Wawancara terstruktur adalah mengacu pada situasi ketika seorang peneliti melontarkan sederet pertanyaan temporal pada tiap-tiap responden berdasarkan kategori-kategori jawaban tertentu dan terbatas. Wawancara ini dapat digunakan dalam penelitian kualitatif untuk membantu peneliti dalam menentukan arah wawancara dalam hubungannya dengan tujuan penelitian. Jadi, sederet pertanyaan dan pilihan jawaban yang disiapkan oleh peneliti dalam konteks ini dimaksudkan untuk dua hal, pertama, membantu mengarahkan proses wawancara kepada tujuan yang ingin dicapai dari penelitian, kedua, menjadi pemandu peneliti dalam memberikan pertanyaan-pertanyaan yang diperlukan, sebagaimana yang ingin dijelaskan pada fokus penelitian.
Sedangkan wawancara semi terstruktur dalam pelaksanaannya lebih bebas dan terbuka dibanding wawancara terstruktur. Dan wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang sistematis, terstruktur dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Panduan atau pedoman wawancara disiapkan hanya berupa garis besar permasalahan yang akan ditanyakan dalam wawancara.
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan untuk menggali data tentang peran majelis taklim Surau Az-Zikri menurut persepsi, pikiran, perasaan, dan ide para petugas pengelola surau atau pengelola majelis taklim.
Jenis wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara mendalam. Peneliti sebelumnya menjalin keakraban dengan para informan maupun responden. Wawancara menggunakan alat perekaman agar situasi tidak terganggu. Malam menjelang tidur rekaman didengar ulang untuk mengetahui apa yang tidak mengerti atau informasi yang kurang lengkap.
3. Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata document yang berarti membuktikan kebenaran. Menurut Komaruddin, dokumentasi adalah sesuatu yang memberikan bukti-bukti, dipergunakan sebagai alat pembuktian atau bahan untuk mendukung sesuatu keterangan, penjelasan atau argumen.[42]
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang sudah tersedia dalam catatan dokumen. Fungsinya sebagai pendukung dan pelengkap serta menguatkan data yang telah diperoleh sebelumnya melalui observasi dan wawancara mendalam.
Sedangkan Sugiyono dalam bukunya, membagi dokumen sebagai sumber dalam pengumpulan data kepada tiga, yakni; berupa tulisan, gambar dan karya. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian (diary note), sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan, dan kebijakan. Sedangkan dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa, film, video, CD, DVD, kaset dan lain-lain. Dokumen berbentuk karya monumental seseorang seperti karya seni, karya lukis, patung, naskah, tulisan, prasasti dan sebagainya.[43]
Dengan demikian jelas, bahwa dokumen sebagai sumber data dalam penelitian kualitatif meliputi semua unsur tulisan, gambar, karya, baik yang bersifat pribadi maupun kelembagaan, resmi maupun tidak, yang dapat memberikan data, informasi dan fakta mengenai suatu peristiwa yang diteliti, karena itu, dokumen yang dimaksud sumber pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah yang terkait dengan rekaman kejadian, proses, setting sosial mengenai peristiwa yang diteliti.
Dokumen yang digunakan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah dokumen resmi lembaga sebagai bukti fisik dari suatu kegiatan yang telah dilaksanakan.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengolah, memisahkan, mengelompokkan dan memadukan sejumlah data yang dikumpulkan dilapangan secara empiris menjadi sebuah kumpulan informasi ilmiah yang terstruktur dan sistematis yang selanjutnya siap dikemas menjadi laporan hasil penelitian.[44]
Menurut Miles Huberman di dalam buku Afrizal[45], analisis data adalah mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Reduksi data adalah kegiatan pemilihan data penting dan tidak penting dari data yang telah terkumpul. Penyajian data yaitu penyajian informasi yang tersusun. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis data mengalir, yang menurut Miles dan Huberman[46], pada prinsipnya kegiatan analisis data ini dilakukan sepanjang kegiatan penelitian (during data collection), dengan kegiatan yang paling inti mencakup penyederhanaan data (data reduction), penyajian data (data display), serta menarik kesimpulan (making concluction).
1. Reduksi data
Reduksi data adalah proses di mana seorang peneliti perlu melakukan telaahan awal terhadap data-data yang telah dihasilkan, dengan cara melakukan pengujian data dalam kaitannya dengan aspek atau fokus penelitian.[47]
Data tentang peran majelis taklim Surau Az-Zikri diperoleh melalui wawancara, observasi dan dokumentasi, kemudian dianalisis dengan menajamkan, menggolongkan, mengarahkan dan membuang yang tidak perlu kemudian mengorganisasikan data tersebut sehingga bisa disajikan.
2. Penyajian Data (display data).
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data atau display data.[48] Display data dapat diartikan sebagai upaya menampilkan, memaparkan atau menyajikan data. Jika dalam kegiatan reduksi data adalah bertujuan untuk memastikan tidak ada lagi ada data-data yang tidak relevan, maka kegiatan display data dilakukan untuk tujuan; pertama, memastikan data-data yang dihasilkan telah masuk dalam kategori-kategori yang sesuai sebagaimana telah ditentukan; kedua, untuk memastikan data sudah lengkap dan sudah mampu menjawab setiap kategori yang dibuat.
Setelah catatan-catatan yang berbentuk laporan didapat, maka selanjutnya disusun dengan lebih sistematis sehingga mudah dipahami dan dapat memberikan gambaran yang lebih tegas tentang hasil pengamatan. Apabila terdapat kekurangan data, peneliti akan mendahulukan untuk memperoleh data yang diperlukan. Rangkuman data disajikan dalam bentuk grafik, tabel dan lain-lain. Data tentang peran majelis taklim surau Az-Zikri yang telah direduksi disajikan melalui bab-bab yang telah tersedia.
3. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan kegiatan akhir dari proses analisis data, yaitu dengan cara merumuskan kesimpulan penelitian, baik kesimpulan sementara maupun kesimpulan akhir. Kesimpulan sementara dapat dibuat terhadap data yang ditemukan pada saat penelitian berlangsung. Dan kesimpulan akhir dibuat setelah seluruh data dianalisis. Hasil penyajian data dapat diambil kesimpulan tentang temuan lapangan mengenai peran majelis taklim surau az-Zikri dengan menyesuaikan teori-teori yang telah disusun sebelum penelitian dilakukan.
F. Uji Keterpecayaan Data
Dalam penelitian ini teknik yang digunakan untuk menguji keabsahan data adalah sebagai berikut:
a. Perpanjangan Keikutsertaan
Perpanjangan keikutsertaan adalah keikutsertaan peneliti untuk terjun langsung ke lokasi dalam waktu yang cukup lama. Hal ini dimaksudkan untuk memperhitungkan kekeliruan yang mungkin akan merusak data, baik kekeliruan peneliti sendiri, maupun kekeliruan yang ditimbulkan oleh responden, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
b. Ketekunan pengamatan
Dalam penelitian ini, ketekunan pengamatan peneliti sangat diperlukan untuk menemukan ciri-ciri fenomena atau gejala sosial dalam situasi yang sangat relevan sehingga peneliti dapat memusatkan perhatian secara rinci dan mendalam. Ketekunan pengamatan oleh peneliti dalam penelitian ini akan membantu menyediakan kedalaman informasi melalui pengamatan yang teliti dan rinci secara kesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol pada masalah yang sedang diteliti.
c. Triangulasi
Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang telah dikumpulkan.[49]
Keabsahan data akan terjamin apabila digunakan teknik triangulasi, maka dalam hal ini akan digunakan empat macam triangulasi, yaitu:
- Triangulasi data, yaitu upaya peneliti membandingkan beberapa data yang diperoleh dengan cara yang sama dan sumber data yang sama. Triangulasi ini dilakukan dalam dua bentuk, yaitu: 1) kevalidan data dari sisi masa, yaitu melihat tanggal berapa data tersebut disahkan, dalam konteks ini peneliti mengupayakan bersumber dari dokumen terbaru. 2) kevalidan data dari sisi rasionalitas, yaitu melihat data-data tersebut apakah rasional atau tidak dilihat dari sisi angka-angka yang tertera pada dokumen, demikian juga rasionalitas wawancara dan pengamatan, sedangkan data dokumen dimaksudkan untuk memperkuat hasil wawancara, atau sebaliknya setelah dokumen diperoleh dapat saja ditanyakan kepada informan yang lebih mengetahui dalam bentuk wawancara, praktek tersebut juga berlaku dalam pengamatan untuk segera didalami melalui wawancara dan dokumen lain.
- Triangulasi sumber, yaitu membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang didapat melalui sumber yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari suatu sumber dengan data yang diperoleh dari sumber lain. Triangulasi metode, yaitu upaya membandingkan data yang diperoleh dengan metode yang berbeda. Triangulasi metode ini akan digunakan pengecekan derajat kepercayaan temuan hasil penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data. Misalnya data yang diperoleh melalui observasi akan dibandingkan dengan data yang diperoleh melalui wawancara.
- Triangulasi teori, yaitu peneliti mengkonfirmasikan data yang diperoleh dengan teori yang telah dikemukakan sebelumnya. Apabila ternyata tidak cocok, maka data tersebut ditelusuri kembali, sebab ada kemungkinan terjadi kesalahan dalam pengumpulannya. Triangulasi teori diterapkan dalam bentuk mencari dan mempelajari teori-teori yang diperlukan untuk mendukung dan menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan. Melalui teknik ini peneliti menghubungkan data hasil temuan dengan teori-teori yang dituangkan dalam kerangka teori yang relevan.
G. Rencana dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Surau Az-Zikri Jalan Pelantar II Sungai Guntung. Pemilihan tempat dengan mempertimbangkan jaraknya tidak terlalu jauh dan memungkinkan peneliti mendapatkan informasi atau data yang sesuai dengan judul dan masalah penelitian yang dapat dikumpulkan.
Penelitian ini memfokuskan pada peran majelis taklim surau az-zikri dalam meningkatkan sikap keagamaan pekerja seks komersial (PSK) di jalan Pelantar II sungai Guntung. Sementara waktu penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yang dimulai dari bulan Agustus 2017- Januari 2018.
H. Instrumen Pengumpulan Data
- WAWANCARA
1. Pengurus Surau Az-Zikri
a. Sejak kapan berdirinya surau Az-Zikri?
b. Bagaimana struktur organisasi Surau Az-Zikri?
c. Bidang saja yang ada di dalam struktur organisasi surau Az-Zikri?
d. Selain untuk shalat berjamaah, kegiatan apa saja yang dilaksanakan di surau Az-Zikri?
e. Apakah ada kegiatan majelis taklim di surau Az-Zikri?
f. Apa perencanaan bapak terkait dengan majelis taklim surau Az-Zikri?
g. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan Majelis taklim surau Az-Zikri?
h. Apakah ada kegiatan pembinaan terhadap PSK?
i. Materi apa yang bapak sampaikan dalam meningkatkan sikap keagamaan PSK?
j. Persiapan apa yang bapak lakukan sebelum memberikan materi?
k. Berapa jumlah PSK yang mengikuti penyajian materi majelis taklim?
l. Bagaimana respon PSK saat mengikuti majelis taklim surau Az-Zikri?
2. Sekretaris Pengurus Surau Az-Zikri
a. Sejak kapan berdirinya surau Az-Zikri?
b. Bagaimana struktur organisasi Surau Az-Zikri?
c. Bidang saja yang ada di dalam struktur organisasi surau Az-Zikri?
d. Selain untuk shalat berjamaah, kegiatan apa saja yang dilaksanakan di surau Az-Zikri?
e. Apakah ada kegiatan majelis taklim di Surau Az-Zikri?
f. Apa perencanaan bapak terkait dengan majelis taklim surau Az-Zikri?
g. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan Majelis taklim Surau Az-Zikri?
h. Apakah ada kegiatan pembinaan terhadap PSK?
i. Materi apa yang bapak sampaikan dalam meningkatkan sikap keagamaan PSK?
j. Persiapan apa yang bapak lakukan sebelum memberikan materi?
k. Berapa jumlah PSK yang mengikuti penyajian materi majelis taklim?
l. Bagaimana respon PSK saat mengikuti Majelis Taklim Surau Az-Zikri?
3. Pembina Bidang Keagamaan Surau Az-Zikri
a. Sejak kapan berdirinya surau Az-Zikri?
b. Bagaimana struktur organisasi Surau az-Zikri?
c. Bidang saja yang ada di dalam struktur organisasi surau Az-Zikri?
d. Selain untuk shalat berjamaah, kegiatan apa saja yang dilaksanakan di surau Az-Zikri?
e. Apakah ada kegiatan majelis taklim di surau Az-Zikri?
f. Apa perencanaan bapak terkait dengan majelis taklim surau Az-Zikri?
g. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan Majelis taklim surau Az-Zikri?
h. Apakah ada kegiatan pembinaan terhadap PSK?
i. Materi apa yang bapak sampaikan dalam meningkatkan sikap keagamaan PSK?
j. Persiapan apa yang bapak lakukan sebelum memberikan materi?
k. Berapa jumlah PSK yang mengikuti penyajian materi majelis taklim?
l. Bagaimana respon PSK saat mengikuti majelis taklim surau Az-Zikri?
4. PSK
a. Apa faktor penyebab anda menjadi PSK?
b. Apakah anda pernah shalat di Surau Az-Zikri?
c. Selain shalat, apakah ada kegiatan keagamaan lain yang anda ikuti di surau Az-Zikri?
d. Apa yang anda rasakan setelah mengikuti kegiatan keagamaan di surau Az-Zikri?
e. Apa harapan anda terhadap surau Az-Zikri?
- Pengamatan/ Observasi
1. Pengamatan aktivitas pengurus surau Az-Zikri sesuai dengan tanggung jawab masing-masing.
2. Pengamatan kegiatan Surau Az-Zikri.
3. Pengamatan kegiatan Majelis Taklim Surau Az-Zikri.
4. Pengamatan acara-acara keagamaan Surau Az-Zikri.
5. Pengamatan kegiatan peningkatan sikap keagamaan PSK.
- Dokumentasi
1. Visi dan misi Majelis Taklim Surau Az-Zikri.
2. Struktur organisasi Majelis Taklim Surau Az-Zikri.
3. Data pengurus Majelis Taklim Surau Az-Zikri.
4. Jadwal Kegiatan Majelis Taklim Surau Az-Zikri.
DAFTAR PUSTAKA
Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2013
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2013.
Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Amelia, 2003.
Echols&hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2000.
Ibrahim, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2015.
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial, Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.
Komaruddin, Kamus Istilah Skripsi Dan Tesis, Bandung: Angkasa, 1982.
Kaelan, Metodologi Penelitian Kualitatif Interdisipliner, Jogjakarta: Paradigm, 2012
Kartini Kartono, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali Press, 2003.
Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosda Karya, 2010.
Musthafa As-Siba’i, Sirah Nabawiyah Pelajaran Dari Kehidupan Nabi, Solo: Era Adi Citra Intermedia, 2011
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan; Islam dan Umum, Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Michael Adryanto, Psikologi Sosial, Cet. III; Jakarta: Erlangga, 1994
Mukhtar. Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah, Jambi: Sulthan Thaha Press. 2004.
Michael A.Huberman dan Matthew B.Miles, Analisa Data Kualitatif Jakarta: UI, 1992
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Cet. X; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995.
Nurul Huda, Pedoman Majelis Taklim, Cet. II; Jakarta: KODI DKI Jakarta, 1990.
Nurul Huda dkk., Pedoman Majelis Taklim, Jakarta: Proyek Penerangan Bimbingan Dakwah Khotbah Agama Islam Pusat, 1984
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi IV Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Sugiono. Metode Penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta. 2010.
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, Malang: YA3 Malang, 1990.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2008
S.Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta : Rineka cipta, 2005.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010
Tutty Alawiyah, Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim, Bandung: Mizan, , cet. I, 1997.
Tjohjo Purnomo dalam Ashadi Siregar. Dolly, Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, Jakarta: Grafitipers, 1983.
Usman dan Akbar Ps, Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
Veithzal Rivai dan Sylviana Murni, Education Management: Analisis Teori Dan Praktek, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
http://aliyahnuraini.wordpress.com/2009/03/19/prostitusi-dan-norma
http://russamsimartomidjojocentre.blogspot.com
[1] Musthafa As-Siba’i, Sirah Nabawiyah Pelajaran Dari Kehidupan Nabi, (Solo: Era Adi Citra Intermedia, 2011), hal. 3
[2] Tutty Alawiyah, Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim, Bandung: Mizan, 1997, cet. I, hal. 78
[3] Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amelia, 2003), hal. 735
[4] Veithzal Rivai dan Sylviana Murni, Education Management: Analisis Teori Dan Praktek, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 202
[5] Nurul Huda, Pedoman Majelis Taklim, (Cet. II; Jakarta: KODI DKI Jakarta, 1990), h. 5.
[6] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan; Islam dan Umum, (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 119-120
[7] Nurul Huda dkk., Pedoman Majelis Taklim, (Jakarta: Proyek Penerangan Bimbingan Dakwah Khotbah Agama Islam Pusat, 1984), h. 9.
[8] Ibid., h. 9-12.
[9] WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 499
[10] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Cet. X; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995), h. 13
[11] Michael Adryanto, Psikologi Sosial, (Cet. III; Jakarta: Erlangga, 1994), h. 137.
[12] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,(Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 36.
[13] Tjohjo Purnomo dalam Ashadi Siregar. Dolly, Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, (Jakarta: Grafitipers, 1983), h. 11.
[14] http://aliyahnuraini.wordpress.com/2009/03/19/prostitusi-dan-norma
[15] http://russamsimartomidjojocentre.blogspot.com,
[16] Kartini Kartono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), h. 65.
[17] Usman dan Akbar Ps, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), hal. 181
[18]Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda Karya, 2010), hal. 4
[19] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi IV (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), hal. 17
[20] Noeng Muhadjir, op.cit. hal. 83
[21] Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), hal 204
[22] Ibid, hal. 24
[23] Ibid, hal 205
[24]Ibid., hal. 10
[25]Ibid., hal. 11
[26] Sugiono. Metode Penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D, (Bandung : Alfabeta. 2010), hal. 297
[27] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 152
[28]Ibid, hal. 300
[29] Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hal. 74
[30] Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, (Malang: YA3 Malang, 1990), hal. 45
[31]Mukhtar. Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah, (Jambi: Sulthan Thaha Press. 2004), hal. 52
[32] Ibid
[33] Kaelan, Metodologi Penelitian Kualitatif Interdisipliner, (Jogjakarta: Paradigm, 2012), hal. 74
[34]Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 62
[35] Ibid
[36] Echols&hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 401
[37]S.Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan,(Jakarta : Rineka cipta, 2005) hal 158
[38] Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2013), hal. 142
[39] Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal. 104
[40] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), hal. 198
[41] Aan Komariah Op. cit, hal. 129
[42] Komaruddin, Kamus Istilah Skripsi Dan Tesis, (Bandung: Angkasa, 1982), hal. 33
[43] Ibid, hal. 82
[44]Muktar, Op, Cit., hal. 120
[45] Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif, hal. 174
[46] Michael A.Huberman dan Matthew B.Miles, Analisa Data Kualitatif (Jakarta: UI, 1992), hal. 16.
[47] Ibrahim, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2015), hal. 109
[48]Ibid., hal. 17
[49] Ibid, 330
Post a Comment for "Peran Majelis Ta’lim Surau Az-Zikri Dalam Meningkatkan Sikap Keagamaan Pekerja Seks Komersial (PSK)"