Cerpen : Kesempatan Kedua
Cerpen ini ditulis oleh Fakrah Azimah
KESEMPATAN KEDUA? OH, NO!
Awalnya kau datang tanpa diundang. Masuk dalam kehidupanku begitu saja. Hingga akhirnya, aku mulai terbiasa. Terbiasa dengan perhatianmu. Terbiasa dengan kata-katamu nan indah. Ah, ya, kau berhasil merebut hatiku yang saat itu sedang nelangsa. Selamat.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, kau masih bertahan dengan perhatianmu. Aku senang dan sepertinya kau juga bahagia. Aku dan kau mulai akrab, bahkan mulai berani memuji satu sama lain. Dan aku, mulai merangkai mimpi baru, bersamamu tentunya.
Bulan keempat, kita masih terus berkomunikasi. Hari-hari menjadi semakin indah meski pertemuan kita dibatasi waktu. Dan kau tau, aku tidak hanya merangkai mimpi baru, tapi aku juga telah memperkenalkanmu dengan kedua orangtuaku. Ayah dan ibu senang. Mereka juga tak sabar ingin bermenantu, sama seperti ketidaksabaranku menunggumu.
Bulan kelima, ayah dan ibu mulai bertanya serius denganku. Pertanyaan yang sulit sekali untuk kujawab. Mereka memintamu datang ke rumah. Berkenalan dengan Ayah, Ibu, dan keluarga yang lain. Dan aku, terpaksa berbohong bahwa kau sedang sibuk dengan pekerjaan dan beberapa hari lagi harus dinas keluar kota.
Ayah memaklumi. Ibu memaklumi. Tapi aku meratap. Meratapi diriku yang mulai kau acuhkan. Kau hanya read bbm-ku tanpa kau balas sama sekali. Kau juga tak mengangkat telponku meski berulang kali ku-dialing namamu.
Kau tega!
Kenapa kau hadir dalam hidupku, dan pergi seenaknya?? Di mana hatimu?
Bulan keenam, kau semakin cuek. Jangankan read bbm-ku, kau malah delcont aku begitu saja. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan.
Sebenarnya aku tak ingin marah, karena aku memang bukan tipe pemarah. Tapi kali ini kau memang kelewat batas. Kau sama sekali tak menghargaiku. kau delcont aku? Oh, akhirnya aku tahu siapa kau sebenarnya.
“Sabar, Alia… ga usah emosi gitu!” Kak hani ikut menyabarkan aku saat aku tak lagi mampu menyabarkan hatiku sendiri. Ya, kak Hani tahu segalanya tentang kau, tentang hubungan kita yang tak pasti, tentang harapan kedua orangtuaku, dan pastinya tentang keinginanku untuk menikah.
“Kak, aku salah apa ya kok dia tega begitu?” Ucapku mellow, kali ini dengan airmata di pipi. Jujur, ini airmata kedua yang kau anugerahkan untukku.
Terimakasih.
“Alia gak salah, dan kakak harap Alia tidak terus-terusan mencari-cari kesalahan Alia sendiri. Mungkin memang belum berjodoh, lupakan saja. Ikhlaskan. Insyaallah ada yang lebih baik.”
“Tapi gak bisa begitu kak… dia pasti punya alasan donk! Jika dari awal gak minat, kenapa masuk dalam kehidupan aku, membuat aku jatuh cinta, lalu pergi seenaknnya. Maksudnya apa coba kak?”
“Apapun alasan dia, semoga ini yang terbaik buat Alia. Intropeksi diri lebih baik. Tak guna bergalau ria.” Kak Hani tampak tegas, mungkin tak ingin aku berlarut dalam kesedihan dan kemarahan. Perempuan cantik yang aku panggil kakak itu yang paling memahamiku. Ibu satu anak yang paling aku kagumi. Dan menurutku, beliau adalah potret istri solehah idaman suami. Meski jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, tapi silaturahim kami tak pernah putus. Dan hari ini, aku sengaja menemuinya hanya untuk meredakan hati kecewaku karenamu.
“Jodoh gak akan ketukar Alia… yakin sama kakak. Janji Allah itu pasti. Perempuan baik untuk laki-laki terbaik. Laki-laki yang baik tak akan rela menorehkan luka di hati. Laki-laki terbaik adalah laki-laki yang tak mengulur-ulurkan waktu untuk datang pada orangtua dan melamar. Sekarang, berbenahlah untuk menyambut laki-laki terbaik itu. Tak usah ingat yang telah lewat. Fokus sama diri sendiri, sama keluarga, dan fokus pada karirmu.”
Aku terdiam. Kak Hani benar.
Bulan ketujuh, kau tak hanya memblokir WA-ku, tapi juga facebookku. Tak apa. Apa saja yang membuat hatimu senang, lakukan. Jika perlu, kau bisa menghapus namaku dalam ingatan, anggap kita tidak pernah kenal, tidak pernah berkomunikasi, dan pula tidak pernah bertemu. Bukan maksud memutuskan silaturahim, tapi kau sendiri yang melakukannya. Semoga kau bahagia, sentosa, dan lebih tenang tanpaku.
Aku akan mengemas kembali hatiku yang sempat hancur karenamu.
Bulan kedelapan, hatiku mulai membaik. Aku telah mengikhlaskanmu, aku telah memaafkan semua permainanmu. Sambil terus berdoa semoga kau di sana dalam keadaan baik dan cepat bertemu jodoh terbaikmu.
Eh, tapi tunggu, yang call barusan, apa itu kau???
Meski nama kontakmu telah terhapus, tapi sial aku masih hapal nomormu. Kau menelponku?? Untuk apa??
3 panggilan tak terjawab darimu sengaja kuacuhkan. Tapi ternyata kau masih sanggup melakukan panggilan keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan panggilan kedelapan aku benar-benar nyerah. Aku tekan tombol hijau dan telpon tersambung.
Awalnya kau diam. Tak ada suara. Dan aku? Tentu saja ikut diam.
“Assalamualaikum, apa kabar?”
Basa-basimu sungguh basi!
“Waalaikumsalam… aku baik. Alhamdulillah.” Jawabku setenang mungkin.
Kau kembali diam. Aneh.
Lima menit berikutnya, kau masih diam. Mungkin sedang berusaha merangkai kata termanismu. Dan aku menunggu apa pun yang ingin kau katakan.
Aku masih menghargaimu. Menghargai silaturahim kita yang telah kau nodai.
Delapan menit kemudian kau akhirnya bersuara kembali. Kau meminta maaf dan kau beralasan empat bulan yang lalu sedang diterpa berbagai masalah.
Oh, masalah apa? Masalah kantor? Lalu apa hubungannya masalah itu dengan aku? Aku rasa tak ada hubungannya. Lalu kau meminta pengertianku, dan aku sudah tahu apa yang kau inginkan. Tapi sorry, pintu untukmu telah tertutup. Kau boleh pergi kembali dan jika perlu pergilah sejauh-jauhnya dari kehidupanku. Lukaku baru saja sembuh, dan sekarang kau ingin menorehkan luka baru.
Sorry!!!
“Mohon dipikirkan kembali, Alia.” Kau memohon. Tapi aku tak bergeming.
Akhirnya kau memutuskan sambungan telponmu. Setelah sebelumnya mengucapkan salam penutup tanpa semangat. Entah, aku tak tahu apakah besok kau akan kembali merayu, tapi yang jelas aku tak mungkin mengingkari janjiku sendiri. Aku tak akan memberi kesempatan kedua.
SELESAI
Post a Comment for "Cerpen : Kesempatan Kedua"