Pengembangan Profesionalisme Guru Di Era Otonomi Daerah
Pembukaan UUD 1945 telah mengamanatkan kepada seluruh lapisan rakyat, bahwa tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan yang sangat mulia itu, para pahlawan dan pejuang kemerdekaan sebagai generasi pendahulu telah menetapkan salah satu strategi pembangunan di bidang pendidikan yang dirumuskan di dalam Bab XIII pasal 31 UUD 1945. Strategi itu menyatakan bahwa (1) tiap-tiap warga negara berhak memperoleh pengajaran, dan (2) pemerintah berkewajiban menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dalam undang-undang.
Kondisi seperti diuraikan di atas mengandung makna bahwa sejak awal kemerdekaan, bangsa ini telah menyadari dan memahami peranan sekolah dan lembaga pendidikan sejenis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan kompetitif sekarang dan di masa datang. Kebutuhan pada sekolah dan lembaga pendidikan sejenis itu merupakan condition sine qua non (syarat mutlak yang tidak dapat dielakkan) untuk menghasilkan warga negara sebagai sumber daya manusia yang memiliki ketangguhan daya saing dan kualitas yang tinggi.
Guru atau tenaga kependidikan yang terdiri dari guru kelas, guru bidang studi, guru bimbingan dan konseling, mengemban peran profesional yang sangat penting dalam mempersiapkan calon pemimpin bangsa di bidang pemerintahan, sosial kemasyarakatan atau di lingkungan swasta. Dari tangan para guru tersebut sepanjang masa diharapkan selalu siap para lulusan sebagai calon pengganti pimpinan dalam rangka pergantian generasi yang tidak saja memiliki keterampilan dan keahlian di bidangnya masing-masing, tetapi juga bermoral dan berakhlak mulia, serta berkepribadian sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
Pendidik dan tenaga kependidikan merupakan salah satu unsur pokok dalam proses penjaminan mutu pendidikan. Untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar nasional dan global diperlukan pendidik dan tenaga kependidikan yang profesional.
Sehubungan dengan tuntutan profesionalitas tersebut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menggariskan beberapa hal.
- Guna memberikan penjaminan mutu pendidikan ditetapkan standar nasional pendidikan yang didalamnya mencakup standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berkala (Pasal 35 ayat 1).
- Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan tugas pokoknya, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 42 ayat 1).
- Tenaga pendidik untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
- Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, konseling dan layanan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi(Pasal 39 ayat 2).
Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
- Kompetensi pedagogik;
- Kompetensi kepribadian;
- Kompetensi profesional; dan
- Kompetensi sosial.
Pendidik pada SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1), latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan, dan sertifikat profesi guru untuk SMK/MAK(PP 19 Pasal29). Pendidik pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas guru mata pelajaran dan instruktur bidang kejuruan yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan (PP 19 Pasal 30).
- Penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
- Penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
- Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
- Perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan
- Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pokoknya.
- Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
- Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
- Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka rumusan pembahasan makalah ini adalah:
2. Bagaimana Profesionalisme guru dalam pembelajaran?
3. Bagaimana Tantangan profesionalisasi guru?
PEMBAHASAN
A. Prinsip Pengembangan Profesi
1. Pengertian Profesi
Guru bertugas dan bertanggung jawab sebagai agen pembelajaran yang memotivasi, menfasilitasi, mendidik, membimbing, dan melatih peserta didik sehingga menjadi manusia berkualitas yang mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya secara optimum, pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan dasar dan menengah, termasuk pendidikan anak usia dini formal (UUGuru Pasal 1/RPP Tendik Ps.4).
Kecakapan dalam melaksanakan tugas sangat diperlukan supaya tujuan pendidikan yang sangat berat itu dapat dicapai semaksimal mungkin. Hal ini berarti bahwa guru harus benar-benar profesional dalam melaksanakan tugasnya. Untuk menjawab makna profesi khususnya dalam bidang pendidikan, Peter Salim dalam (1982:1192) menegaskan bahwa profesi merupakan suatu bidang pekerjaan yang berdasarkan pada pendidikan keahlian tertentu, misalnya profesi di bidang komputer, profesi mengajar, dan lain sebagainya. Pernyataan tersebut mempertegas bahwa profesi menuntut suatu keahlian yang didasrkan pada latar belakang pendidikan tertentu (Muh.Nurdin, 2004:119).
Pendapat lain dikemukakan oleh Sikun Pribadi (1991:1) mengatakan bahwa profesi pada hakekatnya merupakan suatu pernyataan bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Pernyataan tersebut mempertegas bahwa profesi itu pada hakekatnya muncul karena kesediaan pribadi seseorang secara terang-terangan untuk mengabdikan dirinya pada jabatan pekerjaan yang ditekuninya. (Muh.Nurdin, 2004:120).
Tabrany Rusyan (1992:4) mengutip pendapat McCully mengatakan bahwa dalam suatu pekerjaan yang bersifat profesional dipergunakan prosedur serta teknik yang bertumpu pada landasan intelektual, yang secara sengaja harus dipelajari dan secara langsung dapat dipergunakan bagi kemaslahatan orang lain. Pernyataan ini juga dapat memberikan gambaran bahwa suatu pekerja profesional pada hakekatnya adalah seseorang yang melakukan pelayanan ataupengabdian yang dilandasi dengan kemampuan profesional serta palsafah hidup yang mantap. Seorang guru harus memiliki kepribadian yang mantap sebagai tenaga kependidikan.
Sudarwan Danim (1995:60) mengemukakan bahwa profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang mensyaratkan persiapan spesialisasi akademik dalam waktu yang relatif lama di perguruan tinggi, baik dalam bidang sosial, eksakta, maupun seni, dan pekerjaan itu lebih bersifat mental intelelektual dari pada fisik manual, yang dalam mekanisme kerjanya dibawah naungan kode etik.
Seluruh pendapat diatas dapat disarikan bahwa pekerjaan profesional adalah pekerjaan yang dipersiapkan melalui pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi hakekat pendidikan yang harus dipenuhinya, maka semakin tinggi pula derajat profesi yang diembannya. Tinggi rendahnya pengakuan profesionalisme sangat bergantung kepada keahlian dan tingkat pendidikan yang ditempuh.
Menurut Sikun Pribadi (1975: 14), profesi sesungguhnya merupakan suatu lembaga yang memiliki otoritas otonomi, hal tersebut karena didukung oleh:
- Spesialisasi ilmu sehingga mengandung arti keahlian
- Kode etik yang direalisasikan dalam menjalankan profesi, karena pada hakekatnya dia telah mengabdi kepada masyarakat demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
- Kelompok yang tergabung dengan profesi, yang menjaga profesi atau jabatan itu dari penyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak berkompeten dengan pendidikan serta sertifikasi mereka memenuhi syarat-syarat yang diminta.
- Masyarakat luas yang memanfaatkan profesi tersebut.
- Pemerintah yang melindungi profesi dengan undang-undang (Muh. Nurdin, 2004:123).
- Memiliki spesialisasi dengan latar belakang pengetahuan yang luas, maksudnya memiliki pengetahuan umum yang luas dan keahlian khusus yang mendalam.
- Merupakan karier yang dibina secara organisatoris, maksudnya adanya keterikatan dalam suatu organisasi profesional, memiliki otonomi jabatan, memiliki kode etik jabatan, dan merupakan karya bhakti seumur hidup.
- Diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status profesional, maksudnya memperoleh dukungan masyarakat, mendapat pengesahan dan perlindungan hukum, memiliki persyaratan kerja yang sehat, dan memiliki jaminan hidup yang layak
- Diakui oleh masyarakat dan layanan yang diberikan hanya dikerjakan oleh pekerja yang dikategorikan sebagai suatu profesi.
- Memiliki sekumpulan bidang ilmu pengetahuan sebagai landasan dari sejumlah teknik dan prosedur yang unik. Sebagai contoh profesi dibidang kedokteran, harus pula mempelajari, anatomi, bakteriologi, dan sebagainya. Profesi di bidang pendidikan harus mempelajari psikologi, metodik dan sebagainya.
- Diperlukan persiapan yang sengaja dan sistematis, sebelum orang melaksanakan pekerjaan profesionalnya.
- Memiliki mekanisme untuk menyaring sehingga orang yang berkompeten saja yang diperbolehkan bekerja.
- Memiliki organisasi profesional untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat.
- Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
- Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
- Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
- Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya.
- Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
3. Profesionalisasi dan Pengembangan Profesional
Costello dikutip Colin Mars (1996:280) mengemukakan hal senada bahwa “professional development is the process of growth in competence and maturity through which teachers add range, depth and qulity to their performance of theirs professional tasks”.
B. Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran
Berdasarkan pengertian profesi dengan segala persyaratannya yang telah dikemukakan, akan membawa konsekuensi yang mendasar terhadap program pendidikan terutama yang berkenaan dengan komponen tenaga kependidikan. Konsekuensi yang dimaksud adalah masalah accoutability dari program pendidikan itu sendiri. Hal ini merupakan suatu petunjuk bahwa keberhasilan program pendidikan tidak dapat dipisahkan dari peranan masyarakat secara keseluruhan. Jadi kompetensi lulusan tidak semata-mata tanggung jawab guru akan tetapi ditentukan juga oleh pemakai lulusan dan masyarakat baik secara langsung maupun tidak sebagai akibat dari adanya lulusan tersebut.
Secara garis besar terdapat tiga tingkatan kualifikasi profesional guru, yaitu capability, inovator, dandeveloper. Capability maksudnya adalah guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses pemelajaran secara efektif. Inovator maksudnya sebagai tenaga pendidik yang memiliki komitmen terhadap upaya perubahan dan reformasi.
Pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsingya sebagai guru dengan kemampuan maksimal, atau dengan kata lain guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya. Terdidik dan terlatih maksudnya bukan hanya memperoleh pendidikan formal tetapi juga harus menguasai berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan pembelajaran serta menguasai landasan-landasan kependidikan sesuai dengan kompetensi yang harus dikuasai oleh guru.
1. Kompetensi Pedagogik
2. Kompetensi Kepribadian
3. Kompetensi Profesional
4. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh seorang guru terkait dengan substansi kegiatan praktik pendidikan. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
C. Tantangan Profesi Guru
1. Perkembangan Teknologi Informasi
Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang akan datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain. Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu. (Karsidi, 2004). Inilah tantangan profesi guru. Apakah perannya akan digantikan oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang peran profesinya.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak diundangkan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik.
Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001), bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan berpartisipasimasyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya.
Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan dan peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi. Peranserta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan bagi dirinya atau kelompoknya. (Karsidi, 2004).
Desentralisasi adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah: (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3) menyusun program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional yang merupakan motor penggerak memberdayakan daerah.
Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah.
Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.
KESIMPULAN
Post a Comment for "Pengembangan Profesionalisme Guru Di Era Otonomi Daerah"